Oleh : Bhagawan Dwija
(Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi)
Mudah-mudahan tiada halangan !
Permohonan maaf hamba ke hadapan arwah para leluhur yang disemayamkan dalam wujud Ongkara dan selalu dipuja dengan hati suci. Dengan memuja dan memuji kebesaran Sanghyang Siwa semoga penulis terhindar dari segala kutukan, derita, cemar, duka-nestapa, dan halangan lainnya. Mudah-mudahan tujuan hamba yang suci ini berhasil serta bebas dari dosa-dosa karena menguraikan cerita leluhur di masa lampau, semoga direstui sehingga mendapat kejayaan, keselamatan, keabadian, panjang usia, sampai dengan seluruh keluarga turun temurun.
Baiklah kisah ini saya mulai :
Majapahit yang dipimpin Raja Putri: Sri Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani bersama Patih Agung: Gajah Mada berhasil menguasai Kerajaan Bali Aga yang dipimpin oleh Raja: Paduka Bathara Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten (dikenal dengan nama: Bedahulu) dengan Patih : Ki Pasung Grigis dan Ki Kebo Iwa, pada tahun 1343 M atau isaka 1265. Pimpinan Pemerintahan sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih Wulung. Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel. Walaupun Bali sudah dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh militer Bali Aga sudah menyerah. Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur.
Setelah tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum mau menerima kehadiran "si-penjajah" sepenuh hati. Melihat keamanan sudah membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada tahun 1350 M atau 1272 isaka, Ki Patih Wulung berangkat ke Majapahit untuk menghadap Sri Ratu. Tujuannya adalah melaporkan situasi di Bali dan memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa. Atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat orang Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu: Sri Juru, menjadi Raja di Blambangan, Sri Bhima Sakti menjadi Raja di Pasuruan, Sri Kepakisan (putri) menjadi Raja di Sumbawa, dan Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa. Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Ki Patih Wulung menjabat sebagai Mangku Bumi.
Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu Gajah Para, melahirkan: Dalem Wayan (Dalem Samprangan), Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan), Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak), dan Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir). Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin, melahirkan: Dewa Tegal Besung. Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan. Beliau memerintah secara sah sampai tahun 1383 M atau 1305 isaka, kemudian beliau digantikan oleh adiknya yaitu : Dalem Ketut Ngulesir, bergelar Dalem Sri Semara Kepakisan, memerintah sejak tahun 1383 M atau 1305 isaka sampai tahun 1460 M atau 1382 isaka. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel yang diberi nama baru: Sweca Pura. Di awal pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 M atau 1295 isaka) terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat Raja.
Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Raja yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem Ketut, memilih tinggal di luar istana. Dalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dalem Tarukan. Dalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan; penduduk lalu menjuluki beliau : Dalem Ketut Ngulesir. Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan rakyat. Ide Bethara Dalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebahagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan. Sementara itu pergolakan di Puri Samprangan makin memanas, ditandai dengan pemberian julukan yang tidak pada tempatnya kepada Raja, di mana Dalem Sri Agra Samprangan diberi julukan Dalem Ile (Ile=gila), Dalem Tarukan dinyatakan "rangseng" (=gila karena marah), dan Dalem Ketut dinyatakan sangat suka berjudi, khususnya mengadu ayam. Julukan tidak pada tempatnya yang diberikan kepada para Raja itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu yang senantiasa mengajarkan penghormatan tinggi kepada Pemimpin Pemerintahan. Penghinaan kepada Raja itu jelas fitnah, karena jika benar adanya, pasti Maha Raja Majapahit dan Maha Patih Gajah Mada tidak akan tinggal diam. Tindakan pemecatan atau penggantian Raja pasti dilakukan. Selain itu, jika julukan itu benar, para musuh, yaitu rakyat Bedahulu akan mempunyai peluang yang baik untuk menggulingkan Pemerintahan Samprangan.
Setelah selesai membangun Puri, Dalem Tarukan menikahi seorang Bidadari dari Gunung Lempuyang. Karena belum mempunyai putra, beliau mengajak kemenakannya, yaitu cucu Dalem Wayan, Raja Blambangan, bernama: Kuda Penandang Kajar untuk tinggal bersama-sama di Puri Tarukan. Kuda Penandang Kajar adalah seorang pemuda yang tampan, gagah, dan mempunyai kekuatan batin yang tinggi, khusus untuk meneliti apakah tanah ada kandungan emasnya atau tidak. Karena itulah Puri Tarukan sangat mewah dan terkesan kaya raya karena dipenuhi ornamen emas murni. Dalem Tarukan sangat menyayangi kemenakannya. Pemerintahan Samprangan di ambang kehancuran, karena tidak adanya dukungan dari para Menteri dan pembantu Raja. Dalem Wayan merasa perlu memanggil adik beliau yaitu Dalem Ketut untuk diajak kembali tinggal di Puri Samprangan. Maksudnya agar Dalem Ketut turut membantu beliau menyelenggarakan pemerintahan. Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau untuk menjemput Dalem Ketut ke Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena beliau merasa belum mampu memimpin kerajaan di Samprangan. Jika Samprangan telah dipenuhi oleh para menteri dan pembantu Raja yang tidak setia, apakah beliau akan dapat memimpin dengan baik ?
Sementara Dalem Ketut mencari jalan keluar memecahkan masalah ini, datanglah Kuda Penandang Kajar sebagai utusan Dalem Tarukan memohon Dalem Ketut pulang untuk memimpin Kerajaan Samprangan. Dalem Tarukan sendiri tidak berniat menjadi Raja, karena beliau lebih tertarik kepada profesi kepanditaan. Pesan lain yang disampaikan Kuda Penandang Kajar adalah, jika Dalem Ketut berkenan, beliau dibolehkan menggunakan istana Tarukan. Walaupun penjemputan kali ini penuh penghormatan dan kemewahan, misalnya dengan kuda tunggangan istimewa bernama I Gagak dan sebuah keris milik Dalem Tarukan yang bernama I Pangenteg Rat, Dalem Ketut tetap menolak permintaan kakaknya itu, sekali lagi dengan alasan belum mampu memimpin atau menjadi Raja. Kecewa karena tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang Kajar kembali ke Tarukan dengan lesu. Di perjalanan beliau disambar burung gagak hingga destarnya jatuh. Sesampainya di gerbang istana Tarukan, dilihatnya puncak gelung kuri terpenggal. Hanya Kuda Penandang Kajar yang melihat demikian, sementara para pengiringnya tidak melihat puncak gelung kuri itu terpenggal. Pertanda buruk ini terkesan mendalam di hati Kuda Penandang Kajar, sampai-sampai beliau jatuh sakit. Dalem Tarukan prihatin pada sakit yang diderita kemenakannya ini.
Sementara itu tersiar berita yang mengagetkan, bahwa para panglima perang Samprangan merencanakan memerangi Kerajaan Blambangan. Dalem Tarukan tidak setuju dengan rencana itu, mengingat bahwa Dalem Blambangan, yaitu ayah Kuda Penandang Kajar, masih saudara sepupu beliau. Dalem Tarukan berpendapat bahwa rencana itu mempunyai latar lain, mungkin saja gerakan merebut kekuasaan, yaitu bila prajurit dikerahkan ke Blambangan, Dalem Wayan akan mudah digulingkan. Dalem Tarukan cepat mengambil inisiatif untuk mengikat tali persaudaraan antara Samprangan dengan Blambangan, yaitu dengan menikahkan Kuda Penandang Kajar dengan putri Dalem Wayan, bernama I Dewa Ayu Muter. Dengan ikatan tali persaudaraan itu, perang dapat dicegah. Sakitnya Kuda Penandang Kajar menjadi suatu jalan untuk memohon restu para Dewata. Jika Dewata mengijinkan pernikahan ini, kesembuhan Kuda Penandang Kajar menjadi suatu batu ujian. Pertimbangan lain, Dalem Tarukan melihat bahwa Kuda Penandang Kajar sudah cukup dewasa, dan dari gelagat sehari-hari nampaknya tertarik kepada I Dewa Ayu Muter.
Terucaplah tegur sapa Dalem Tarukan kepada Kuda Penandang Kajar : Duhai anakku, segeralah sembuh; ayah berkeinginan mengawinkan anak dengan I Dewa Ayu Muter. Ternyata permohonan Dalem Tarukan kepada para Dewata terkabul. Kuda Penandang Kajar segera sembuh dan sehat seperti semula. Tentu saja Dalem Tarukan sangat bergembira. Kini beliau merencanakan mewujudkan perkawinan kedua muda-mudi itu. Untuk meminang tentu saja tidak mungkin, karena posisi Dalem Wayan sangat lemah. Beliau hampir tidak dapat memutuskan sesuatu. Semua keputusan diambil oleh para Menteri. Akhirnya dilaksanakanlah perkawinan secara adat kawin-lari. Awalnya perkawinan itu berjalan lancar, sampai pada malam hari terjadi hal yang merupakan akhir dari keberadaan Puri Tarukan. Kedua mempelai yang sedang berbulan madu di peraduan, tewas berbarengan tertusuk senjata keris. Seorang abdi perempuan pengasuh I Dewa Ayu Muter di Puri Samprangan melaporkan secara tergesa-gesa kepada Dalem Wayan bahwa putri beliau satu-satunya , yaitu I Dewa Ayu Muter, semalam telah tewas di Puri Tarukan terbunuh oleh Ki Tanda Langlang. Dalem Wayan tentu saja sangat terkejut dan segera memanggil para menterinya. Seorang panglima perang menyampaikan ceritra yang lengkap, serta memperkuat keyakinan Dalem Wayan bahwa putri beliau bersama-sama Kuda Penandang Kajar benar telah tewas ditikam Ki Tanda Langlang.
Betapa murkanya Dalem Wayan setelah mendapat penjelasan para Menterinya itu. Segera disuruhlah memukul kentongan dengan suara "bulus" sehingga para prajurit segera berkumpul di halaman istana. Di saat itu Dalem Wayan memerintahkan pasukan Dulang Mangap yang dipimpin Panglimanya Kiyai Parembu, menyerang menghancurkan Puri Tarukan serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau mati. Dengan bersorak gegap gempita pasukan itu bergegas menuju Puri Tarukan. Kini diceritakan Ide Bethara Dalem Tarukan di Puri Tarukan. Betapa sedih dan terkejutnya beliau menyaksikan nasib yang tragis menimpa putra kesayangannya bersama menantunya yang meninggal di kamar pengantin justru pada malam pertama yang seharusnya berkesan sangat bahagia.
Beliau sadar bahwa kejadian ini adalah puncak upaya yang sangat keji dari orang-orang yang ingin menguasai kerajaan Samprangan. Beliau ingin menyelesaikan masalah ini melalui pembicaraan dengan kakak beliau, tetapi nampaknya keadaan sudah tidak memungkinkan lagi karena Dalem Wayan sudah termakan fitnah. Terdengar pula berita bahwa pasukan Dulang Mangap sedang menuju Puri Tarukan untuk menangkap beliau dan menghancurkan Puri Tarukan. Di saat yang berbahaya itu beliau cepat berpikir dan kemudian dikumpulkanlah semua prajurit Tarukan. Beliau meminta agar bila pasukan Dulang Mangap datang, prajurit Tarukan menyerah, tidak melawan, dengan cara membuang senjata dan duduk bersila di tanah dengan posisi kedua tangan memeluk tengkuk (leher bagian belakang). Beliau juga meminta agar permaisuri tetap tinggal di istana dan menyerah kepada Dalem Wayan.
Betapa sedih dan pilu hati permaisuri tiada terperikan. Ingin beliau menyertai Dalem Tarukan pergi ke mana saja, tetapi itu tidak mungkin karena beliau sedang hamil besar. Prajurit Tarukan juga tidak mau menyerah begitu saja. Mereka sangat mencintai Dalem Tarukan dan meminta diijinkan menghadapi pasukan Dulang Mangap sampai habis-habisan (perang puputan). Dalem Tarukan tidak mengijinkan. Beliau mengingatkan bahwa masalah ini adalah masalah pertikaian antar keluarga, yaitu beliau dengan kakak beliau, Dalem Wayan. Beliau tidak ingin karena pertikaian keluarga ini lalu rakyat yang menjadi korban sia-sia. Dengan berat hati beliau juga berpesan kepada permaisuri agar baik-baik menjaga putranya yang masih di kandungan. Permaisuri tetap berlutut meratapi keputusan Dalem Tarukan. Dalem Tarukan berusaha menenangkan permaisuri dengan mengatakan bahwa kejadian ini sudah kehendak Dewata. Kita sebagai manusia tiada daya menolak kehendak Yang Maha Kuasa. Karena itu pasrahlah; serahkanlah hidup mati kita kepada-Nya. Setelah itu beliau segera berangkat seorang diri ke arah utara.
Pasukan Dulang Mangap di bawah Panglimanya Kiyai Parembu dengan teriakan-teriakan histeris bagaikan serigala haus darah, tiba di Puri Tarukan. Mereka terheran-heran karena melihat semua pasukan dan rakyat Tarukan menyerah total tanpa perlawanan, bahkan duduk bersila dengan pandangan menunduk memandang tanah. Sesuai aturan perang, seorang kesatria tidak akan membunuh pasukan yang sudah menyerah apalagi tanpa senjata. Mereka masuk ke istana, memeriksa setiap sudut tetapi tidak menjumpai
jejak Dalem Tarukan. Mereka hanya menemukan permaisuri beliau yang bersimpuh berurai air mata. Pasukan Dulang Mangap lalu menjarah isi Puri Tarukan dan membakar sampai habis Puri Tarukan. Para tawanan digiring ke Puri Samprangan. Kejadian yang memilukan ini terjadi pada tahun 1377 M atau 1299 isaka. Kiyai Parembu menghadap Dalem Wayan di Puri Samprangan, dan melaporkan bahwa Dalem Tarukan telah melarikan diri ke arah utara. Segala hasil jarahan Puri Tarukan diserahkan, dan permaisuri Dalem Tarukan ditawan di Puri Samprangan. Dalem Wayan memerintahkan Kiyai Parembu untuk meneruskan pengejaran esok harinya. Kiyai Parembu menyiapkan pasukan bersenjata sebanyak 2000 orang. Perjalanan Ide Bethara Dalem Tarukan sejak dari Puri Tarukan, secara berurut adalah sebagai berikut : TARODi desa ini beliau tidak lama, hanya lewat saja, kemudian karena dikejar terus oleh pasukan Dulang Mangap, beliau memutar kembali menuju desa : TAMPUWAGANDi suatu tanah persawahan beliau melihat banyak orang sedang menanam padi. Ada seorang petani yang sedang membuang kotoran di sungai, dan bajunya ditinggalkan di tepi sungai. Baju itu lalu diambil oleh Dalem Tarukan, dikenakan, lalu beliau turut serta dengan para petani menanam padi. Seketika datanglah pasukan Dulang Mangap yang mengagetkan para petani.
Kiyai Parembu bertanya, apakah para petani melihat Dalem Tarukan di sekitar situ. Para petani serentak menjawab, tidak melihat siapa-siapa apalagi Dalem Tarukan. Pasukan Dulang Mangap memeriksa sekali lagi dan meneruskan pengejaran ke utara. Beberapa saat kemudian si petani yang selesai membuang kotoran itu bangkit dari sungai, mencari bajunya namun tidak ditemukan. Dalem Tarukan berdiri sambil membuka penyamarannya. Seketika para petani terkesima karena baru kali itu mereka menatap sosok Dalem Tarukan yang tinggi besar, gagah perkasa, dengan raut wajah yang sangat tampan namun berwibawa. Kulit kehitaman dan rambut berombak yang panjangnya sebatas bahu menambah kewibawaan beliau. Para petani sujud menyembah serta mohon maaf karena tidak mengetahui kehadiran beliau di antara mereka. Beliau, Dalem Tarukan menjelaskan secara singkat halangan yang menimpa, serta berpesan : "wahai kamu sekalian rakyat Tampuwagan, janganlah lagi kamu me-"cokor I Dewa" terhadapku. Kamu boleh menyapaku dengan "I Ratu, Gusti atau Jero", karena aku akan tetap menyamar agar tidak diketahui keberadaanku di sini sehingga bebas dari pengejaran pasukan kakakku, Dalem Samprangan". Walaupun tidak rela, para petani itu serempak menyembah beliau dan merasa iba dengan nasib malang yang menimpa junjungan mereka itu. Dari Tampuwagan Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke desa : PANTUNAN Para pengejar yang mendapat informasi bahwa Dalem Tarukan ada di Desa Pantunan, segera ke sana. Beberapa saat sebelum kedatangan pasukan Dulang Mangap, Ide Bethara Dalem Tarukan telah diberi tahu oleh para petani di Pantunan. Beliau lalu bersembunyi di bawah pohon Jawa dan semak-semak pohon Jali yang tumbuh subur. Ada sepasang burung perkutut hinggap di atas pohon Jawa tepat di atas persembunyian beliau seraya berkicau amat merdunya. Ada pula seekor burung puyuh berkeliaran dekat kaki beliau sambil berkicau. Para pengejar sudah berada dekat sekali ke pohon Jawa dan Jali tempat persembunyian beliau. Hampir saja mereka menguakkan semak-semak itu, namun tiba-tiba seorang pengejar mencegah. "Mana mungkin ada orang di situ, lihatlah burung-burung itu bertengger dan berkicau dengan tenang; jika ada manusia mereka sudah pasti terbang menghindar".
Pengejar yang lain membenarkan dan mereka meneruskan perjalanan. Terhindarlah Ide Bethara Dalem Tarukan dari penangkapan. Beliau lalu keluar dari semak-semak. Alangkah besar perlindungan Ide Sanghyang Parama Kawi. Seolah-olah semak-semak dan burung-burung itulah yang diminta oleh-Nya untuk melindungi beliau. Di saat itulah dengan terharu beliau berterima kasih kepada semak-semak dan burung-burung, sehingga terucaplah janji beliau agar seketurunan beliau tidak membunuh/merusak serta memakan Jawa, Jali, burung perkutut dan burung puyuh. Di malam hari beliau meneruskan perjalanan ke desa : POH TEGEHDi desa Poh Tegeh (kini bernama Desa Suter) bermukimlah seorang kesatria bernama I Gusti Ngurah Poh Tegeh. Kesatria ini mempunyai nama/biseka lain yaitu I Gusti Ngurah Poh Landung, atau Kiyai Poh Tegeh, atau Kiyai Poh Landung, keturunan dari Sri Jayakata, Raja Tumapel (Jawa Timur) setelah wafatnya Sri Jayakatong. Datang ke Bali pada tahun 1350 M atau 1272 isaka mengemban tugas mengawal Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan. Sudah beberapa hari beliau mendengar berita bahwa Dalem Tarukan sedang berselisih dengan Dalem Wayan. Tiba-tiba di keremangan sinar bulan malam itu Kiyai Poh Tegeh terkejut menerima kedatangan Dalem Tarukan. Sang Kiyai segera menyambut dan bertanya meminta ketegasan, kenapa Dalem Tarukan datang mendadak, seorang diri tanpa pengiring. Dalem Tarukan kemudian menjelaskan duduk persoalan selengkapnya dari awal hingga akhir. Kiyai mendengarkan dengan seksama, kemudian timbullah rasa ibanya. Kiyai memohon agar Dalem Tarukan tidak ke mana-mana lagi. Ia mempunyai suatu tempat yang dinamakan pedukuhan Bunga. Tempat itu dikitari hutan lebat dan jauh dari jalan yang biasa dilalui manusia. Dalem Tarukan menyetujui dan keesokan harinya beliau ke sana diiringi Kiyai Poh Landung. PEDUKUHAN BUNGA Di Pedukuhan Bunga beliau disambut oleh Dukuh Bunga yang juga menyediakan pondoknya untuk ditinggali Dalem Tarukan. Dalem Tarukan sangat terharu atas kesetiaan dan keramahtamahan Kiyai Poh Landung dan Dukuh Bunga beserta keluarga dan seluruh rakyatnya. Keberadaan beliau di pedukuhan dirahasiakan sehingga Dalem Tarukan menetap dalam waktu lama dengan tenang. Di sini beliau memperdalam ilmu kependetaan bersama-sama Dukuh Bunga. Di suatu hari Dalem Tarukan merasa sedih karena mengenang peristiwa hancurnya Puri Tarukan. Beliau belum tahu bagaimana nasib permaisuri yang ketika ditinggalkan sedang hamil tua. Lama beliau termenung. Hal ini diperhatikan oleh Kiyai Poh Landung. Kiyai turut prihatin dan memikirkan bagaimana cara menghibur Dalem Tarukan. Kiyai menemukan jalan dan merencanakan menghaturkan putrinya yang bernama Ni Gusti Luh Puaji sebagai istri Dalem Tarukan. Beberapa hari kemudian Kiyai mengusulkan rencananya itu kepada Dalem Tarukan. Beliau menerima dengan baik usul Kiyai, dengan pertimbangan perlunya menurunkan "sentana" dan juga menghormati kesetiaan Kiyai Poh Landung. Pertimbangan yang sama pula disampaikan ketika para pengikut setia beliau di kemudian hari masing-masing menghaturkan putri mereka sebagai istri-istri Dalem Tarukan. Secara bertahap berkembanglah keluarga Ide Bethara Dalem Tarukan sebagai berikut :
NAMA MERTUA
NAMA ISTRI
NAMA PUTRA/PUTRI
Gusti Ngurah Poh Landung
Gusti Luh Puaji
Gusti Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari
Dukuh Bunga
Jero Sekar
Gusti Gede Bandem
Dukuh Darmaji
Jero Dangin
Gusti Gede Dangin
Jero Mekel Belayu
Jero Belayu
Gusti Gede Belayu
Gusti Gede Bekung
Gusti Luh Balangan
Gusti Gede Balangan, Gusti Luh Wanagiri
Di pedukuhan Bunga beliau sekeluarga hidup aman, tenteram, dan berbahagia. Di waktu-waktu senggang beliau menanam berbagai macam kembang, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran. Dengan kelima istri dan ketujuh putra/putrinya beliau hidup rukun dan damai; bercengkrama, bersenda gurau, bermain-main di hutan dan mandi-mandi di sungai diselingi gelak tawa riang putri, si bungsu Gusti Luh Wanagiri. Ide Sanghyang Parama Kawi yang maha kuasa, telah mengaruniai beliau putra-putra yang tampan, gagah dengan ciri-ciri khas wibawa kebangsawanan. Tak kalah dengan si mungil, putri beliau satu-satunya, tanda-tanda kecantikan yang masih tersembunyi menunggu saat menyembul di kemudian hari. Hentikan dulu sejenak cerita di pedukuhan Bunga. Kini diceritakan keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan. Sudah sekian lama Kiyai Parembu mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan dan desa-desa di pegunungan, tiada kabar berita, membuat Dalem Wayan resah. Dalam hati kecilnya beliau menyesal telah mengeluarkan perintah yang demikian kejam namun sebagai seorang Raja tidak mungkin beliau menarik kembali perintah itu. Kini beliau mengharap semoga adik kandung beliau itu selamat dan untuk bisa selamat selamanya, diperkirakan Dalem Tarukan telah berhasil menyeberang ke Jawa, jika benar maka jalan yang terbaik adalah melalui Desa Kubutambahan di bekas kerajaan Dalem Kesari Marwadewa, yaitu di Pura Penyusuan.
Rasa kesepian karena tiada saudara sekandung, perasaan bersalah yang terus menghantui, serta siasat dari para Menteri yang tiada hentinya, membuat Dalem Wayan tidak bergairah memimpin pemerintahan Kerajaan Samprangan. Perasaan bersalah Dalem Wayan makin menjadi-jadi setelah istri Dalem Tarukan yaitu bidadari dari Lempuyang moksah ketika putra yang dilahirkannya genap berusia 42 hari. Bayi mungil ini dinamai I Dewa Bagus Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di peraduan saja, tidak beda seperti orang yang sedang sakit. Para menteri dan petinggi kerajaan yang ingin menghadap tidak berhasil menemui beliau, sehingga lama kelamaan roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keadaan ini mengkhawatirkan beberapa menteri karena dapat membahayakan kelangsungan berdirinya kerajaan Samprangan, apalagi kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga masih terus berusaha menggulingkan kerajaan. Seorang menteri bernama Kiyai Kebon Tubuh mengambil inisiatif berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput Dalem Ketut Ngulesir untuk memohon beliau bersedia menjadi Raja. Kiyai berhasil menemui Dalem Ketut di arena sabungan ayam sedang berwajah lesu karena baru saja kalah bertaruh. Kiyai melaporkan secara singkat keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan dan peristiwa menyedihkan yang terjadi di Puri Tarukan. Sejenak Dalem Ketut termenung membayangkan betapa tragisnya nasib beliau tiga bersaudara. Kiyai melanjutkan permohonannya agar Dalem Ketut sudi pulang ke Samprangan untuk memimpin kerajaan Bali Dwipa. Walaupun Dalem Ketut sudah lama meninggalkan Samprangan, beliau selalu memantau apa yang terjadi di Puri Samprangan. Permintaan Kiyai Kebon Tubuh itu memang patut dipertimbangkan demi menjaga kelangsungan roda pemerintahan, namun bagaimana nanti dengan kedudukan Dalem Wayan ?
Pemikiran Dalem Ketut itu nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan agar Dalem Ketut memerintah dari Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata lain kerajaan seolah-olah sudah dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui Dalem Ketut dan segeralah beliau berangkat ke Gelgel (tahun 1380 M atau 1302 isaka). Dalem Ketut Ngulesir membangun istana di Gelgel di kebun kelapa milik Kiyai Kebon Tubuh. Berita ini didengar oleh Dalem Wayan namun tidak bereaksi karena beliau sudah kehilangan gairah hidup. Para menteri dan pembantu Raja di Samprangan banyak yang berpindah ke Gelgel atas kemauan sendiri karena merasa lebih senang mengabdi kepada Dalem Ketut. Roda pemerintahan diatur dari Gelgel yang telah berganti nama menjadi Suwecapura. Para Manca yang tinggal di pedesaan dan pegunungan mendengar berita ini lalu datang menyatakan dukungan dan kesetiaan kepada Dalem Ketut.
Sementara itu Dalem Wayan makin parah sakitnya dan akhirnya beliau moksah pada tahun 1383 M atau 1305 isaka. Setelah Dalem Wayan moksah barulah Dalem Ketut menyelenggarakan upacara penobatan Raja (biseka Ratu) dengan gelar Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan. Segera setelah Dalem Ketut resmi menjadi Raja, beliau teringat pada kakak beliau, Dalem Tarukan. Diutuslah Kiyai Kebon Tubuh ke pedukuhan Bunga untuk meminta Dalem Tarukan kembali ke Tarukan atau ke Suwecapura. Permintaan ini ditolak beliau karena beberapa pertimbangan antara lain : jika kembali ke Tarukan, istana ini sudah hancur dan akan mengingatkan kenangan pahit yang dialami beberapa tahun lampau. Istri beliau yang dicintai, yaitu bidadari Lempuyang-pun (dijuluki : Dedari Kuning) telah moksah. Jika ke Suwecapura, walaupun adik beliau Dalem Ketut mau menerima, belum tentu para menteri dan petinggi kerajaan lain mau juga menerima dengan baik; sementara itu beliau sudah berbahagia di pedukuhan Bunga. Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Suwecapura dan melaporkan penolakan Dalem Tarukan tersebut. Dalem Ketut kecewa karena maksud baik beliau tidak ditanggapi oleh Dalem Tarukan, namun beliau dapat memahami pemikiran kakak beliau itu. Dalem Tarukan yang menduga bahwa para menteri di Suwecapura dan para pengejar dari Samprangan telah mengetahui tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk meninggalkan pedukuhan Bunga. Berangkatlah rombongan keluarga besar itu diiringi oleh Dukuh Darmaji dan beberapa rakyatnya menuju desa : SEKAHAN Hanya semalam beliau ada di desa Sekahan, kemudian meneruskan perjalanan ke desa : SEKARDADI Di sini beliau beserta rombongan bermalam di pondok kerabat Jero Dukuh Darmaji selama tiga malam, kemudian meneruskan perjalanan ke desa : KINTAMANI Hanya lewat saja, lalu terus menuju desa : PANARAJON Di sini rombongan beliau dihembus angin topan sehingga sebelas pengiring beliau meninggal dunia. Setelah topan reda, rombongan meneruskan perjalanan ke desa : BALINGKANG Merasa aman, di sini beliau tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan menuju desa : SUKAWANA Dalam perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang berusia 4 tahun, Gusti Luh Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu bertanya kepada Dukuh Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak membawa makanan, hanya beberapa genggam beras. Dalem Tarukan lalu tergesa-gesa memberikan beras itu kepada putrinya, karena tidak sempat lagi memasaknya. Beberapa saat kemudian putrinya sakit perut karena memakan beras mentah dan akhirnya tidak tertolong. Putri yang dicintainya meninggal dunia. Betapa sedih beliau dan terucaplah kata-kata beliau: "Ya, Tuhan betapa besar cobaan yang kami terima, sangat besarlah penyesalan kami karena seolah-olah memberi jalan kematian putriku. Nah agar hal ini tidak terulang lagi, wahai semua putra dan semua keturunanku, kelak di kemudian hari janganlah sekali-kali kalian memakan beras mentah" Setelah itu Dalem Tarukan lalu meminta Ki Pasek Sikawan mengubur jenazah putrinya. Karena letak desa Sukawana di sebelah timur bukit Penulisan, maka agar prabu layon berada di "hulu" dikuburlah jenazah putrinya dengan kepala di arah barat. Di saat ini terucaplah bisama beliau agar seketurunan beliau bila meninggal atau di-aben agar kepala berada di arah barat, sebagai tanda ingat akan peristiwa menyedihkan ini. Dari Sukawana beliau menuju ke desa: SIKAWAN Di desa ini beliau ditemui oleh Ki Pasek Ban dan Ki Pasek Jatituhu. Beliau sempat beristirahat selama tiga bulan, selanjutnya menuju desa : PENEK Tidak menetap, hanya memintas saja, lalu terus ke desa : BAN (EBAN) Juga tidak menetap, terus ke desa : TEMANGKUNG Tidak menetap, terus ke desa : CARUCUT Perjalanan menelusuri pantai; tiba di suatu tempat yang indah beliau berhenti sejenak. Sudah sekian jauh beliau berjalan baru di situlah merasa lega dan firasat beliau mengatakan bahwa tempat ini aman dari kejaran pasukan Dulang Mangap. Beliau lalu membicarakan rencana untuk menetap di situ. Semua pengikut beliau: Dukuh Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Temangkung, dan Ki Pasek Sukawana setuju.
Di situlah beliau membuka perkebunan kelapa dan tanaman palawija, dibantu oleh ratusan rakyat pegunungan yang setia kepada Dalem Tarukan. Lama-kelamaan makin banyak rakyat dan pemekel dari pulau Bali pesisir utara yang berdatangan menghaturkan sembah sujud kehadapan beliau dan tetap menjunjung beliau sebagai Dalem. Dalem Tarukan lalu bersabda: "kamu semua rakyat pegunungan dan pesisir, aku menerima penghormatan dan kesetiaanmu, tetapi janganlah kamu me-"cokor I Dewa" kepadaku, karena kini aku bukanlah seorang Dalem lagi" Walaupun demikian, rakyat tetap saja menghormati beliau dengan hatur: "cokor I Dewa" karena tak seorang pun berani mengubah kebiasaan sebutan. Terkenallah beliau sampai ke perbatasan di arah barat: Desa Tejakula, di arah selatan: Desa Poh Tegeh, di arah Timur: Desa Ban, (arah utara : Laut Bali).
Berkat asung kerta nugraha Ide Sanghyang Parama Kawi, hasil perkebunan beliau melimpah, sehingga lama kelamaan keluarga dan pengiring beliau kaya raya dan selalu bersuka ria. Maka tempat itu dinamakan Sukadana. SUKADANA Ide Bethara Dalem Tarukan sekeluarga beserta para pengiringnya menikmati kebahagiaan hidup di Sukadana. Namun di suatu saat beliau terkenang akan putri beliau, yaitu Gusti Luh Wanagiri yang meninggal dan dikuburkan di Sukawana. Atas usul para pengikutnya yaitu Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki Pasek Sikawan, Dukuh Bunga, Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan, dilaksanakanlah pelebon putri beliau secara megah dan besar-besaran. Lokasi upacara dipilih di Bukit Mangun; pada saat pembakaran, prabu layon mengarah ke barat. Pemuput upacara adalah: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, dan Dukuh Jatituhu. Abu jenazah dipendem di Bukit Mangun. Selesai upacara pelebon, mereka kembali pulang ke Sukadana. Beberapa lama kemudian para pengiring beliau menyarankan agar rombongan kembali ke desa Poh Tegeh, karena desa itu lebih layak dijadikan tempat menetap. POH TEGEH Betapa gembiranya I Gusti Ngurah Poh Tegeh menyambut kedatangan Ide Bethara Dalem Tarukan setelah sekian lama berpisah. Rombongan besar itu dijamu secara meriah. Tiba-tiba timbul keinginan Ide Bethara Dalem Tarukan untuk meneruskan perjalanan ke selatan karena seperti ada firasat bahwa kemungkinan putra beliau yang beribu dedari Lempuyang masih hidup dan kini berada entah di mana.
Hal itu disampaikan kepada Kiyai Poh Tegeh. Mula-mula Kiyai mencegah rencana beliau itu; namun melihat beliau sangat bersemangat, Kiyai mendukung serta memohon agar Dalem Tarukan sangat berhati-hati di perjalanan. Beberapa hari kemudian rombongan beliau berangkat menuju desa : SIDAPARNA Di desa ini beliau bertemu dengan beberapa penduduk yang memberikan informasi bahwa Dalem Ketut yang menggantikan Dalem Wayan, memerintah di Gelgel secara bijaksana dan semuanya berjalan sangat baik. Dalem Ketut tidak pernah lagi menanyakan keberadaan Dalem Tarukan. Demikian pula para prajurit Samprangan yang dahulu mengejar Dalem Tarukan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke: GUNUNG PENIDA Di suatu dataran tinggi Dalem Tarukan berhenti. Tempat itu sangat indah karena diapit oleh dua buah sungai yang sangat jernih airnya. Dikelilingi oleh hutan yang penuh dengan aneka satwa, ada tanah datar yang luas, cocok untuk persawahan. Lama beliau termenung menikmati keindahan pemandangan alami itu. Beliau berpikir, inilah tempat yang sangat sesuai untuk tempat menetap. Jika meneruskan perjalanan, belum juga tentu ke mana arahnya; di samping itu anggota rombongan beliau sudah lelah tinggal berpindah-pindah.
Akhirnya beliau memutuskan menetap di daerah itu. Di sini beliau membangun pondok-pondok, membuka sawah-ladang, serta menanam padi, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan berbagai macam bunga. Tempat itu oleh penduduk dinamakan Pulasari atau Pulasantun. Kemudian Ide Bethara Dalem Tarukan menekuni Dharma Kepanditaan yang menjadi keinginan beliau sejak berada di Tarukan. Keinginan ini seperti mendarah daging karena leluhur beliau di Majapahit adalah Brahmana, abiseka Danghyang Kepakisan. Kegiatan kepanditaan di Pulasari berkembang pesat karena didukung oleh para Dukuh sekitarnya, misalnya Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Darmaji, dan lain-lain. Di sela-sela waktu pemujaan, Ide Bethara Dalem Tarukan tetap bekerja di kebun atau di sawah sebagai selingan dan kesenangan. Hentikan dulu sejenak, kini diceritakan keadaan putra Ide Bethara Dalem Tarukan bernama Dewa Bagus Dharma yang tinggal di Puri Samprangan. Sejak berusia 42 hari beliau ditinggal ibunda, moksah ke kahyangan. Di saat membutuhkan air susu, datanglah seekor manjangan putih menyusui beliau dan kemudian menghilang setelah sang bayi tertidur lelap. Keadaan ini mengherankan seisi Puri, sehingga yakinlah mereka bahwa sang bayi benar-benar putra seorang bidadari kahyangan. Ada seorang emban (pembantu) yang sangat setia merawat sang bayi.
Setelah meningkat usia remaja, Dewa Bagus Dharma bertanya kepada si-emban, siapa ayah dan ibu beliau. Si-emban dengan berlinang air mata menceritakan riwayat Ide Bethara Dalem Tarukan. Sejenak beliau tercenung lalu berucap bahwa ingin menemui ayahanda beliau. Si-emban dengan berbisik memberitahu: "pergilah I Dewa ke arah pegunungan di utara; jika bertemu seorang laki-laki tegap, tampan, tinggi, berkulit hitam, rambut panjang berombak, tanpa baju, berkain hitam dengan saput poleng tanpa ujung (seperti kain sarung), itulah ayahanda I Dewa". Tidak menunggu waktu lagi, Dewa Bagus Dharma segera mengambil keris, lalu berangkat ke arah utara. Tekad beliau sudah mantap; kerinduan bertahun-tahun, haus kasih sayang, dan "jengah" mendorong beliau segera ingin bertemu dan tinggal bersama ayahanda baik dalam keadaan suka maupun duka. Berhari-hari beliau berjalan sambil memperhatikan orang-orang yang ditemuinya. Tidak satu pun mirip dengan apa yang diceritakan si-emban. Beliau tidak bertanya kepada siapa pun, karena perjalanan ini dirahasiakan. Suatu siang yang panas, tibalah Dewa Bagus Dharma di suatu persawahan yang luas. Hanya ada satu orang di situ sedang asyik membajak sawah.
Beliau duduk dan kaget melihat orang itu sesuai benar dengan ciri-ciri yang dikatakan si-emban. Hanya saja orang ini petani; ayahanda yang dicari adalah seorang Raja. Tidak mungkin seorang Raja membajak sawah. Sedang berpikir-pikir demikian, tiba-tiba sapi si-"petani" panik lalu lari tunggang langgang. Peralatan bajak yang ditariknya patah tidak karuan karena sapi-sapi itu mengamuk ingin melepaskan diri. Si "petani" heran, kenapa sapinya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pasti ada sesuatu sebab yang membuat sapinya ketakutan, misalnya harimau. Namun tidak ada harimau di sekitar itu. Yang ada hanya seorang lelaki remaja dengan sorot mata polos memandang kegaduhan sapi itu. Si-"petani" yang tiada lain Ide Bethara Dalem Tarukan, menjadi marah karena mengetahui penyebab sapinya liar adalah silaki-laki itu. Beliau mendekati remaja itu lalu menghardik: "eh, apa kerjamu di sini, mengganggu saya serta mengacaukan sapi-sapi saya" Sang remaja yang disapa dengan keras itu juga marah, sehingga timbul percekcokan. Kemarahan makin menjadi-jadi akhirnya sama-sama menghunus keris berkelahi dengan sengit, saling pukul, saling tikam, saling cekik, saling tindih, berjam-jam lamanya tidak ada yang terluka, sampai kehabisan tenaga, sama-sama duduk bersebelahan. Dalem Tarukan heran karena remaja ini kebal tubuhnya, ditikam tidak tergores apalagi luka. Beliau lalu bertanya: "hai anak muda, siapa sebenarnya anda, dari mana, mau ke mana dan apa kerjamu di tengah hutan ini seorang diri" Dewa Bagus Dharma lalu menjawab: "saya bernama Dewa Bagus Dharma, dari Puri Samprangan, tiba di hutan ini hendak mencari ayah saya bernama Ide Dalem Tarukan, yang menurut informasi tinggal di sekitar daerah ini" Mendengar itu, Ide Bethara Dalem Tarukan terkejut bagaikan disambar petir. Dipandangnya wajah pemuda itu; ya Tuhan, Sanghyang Parama Kawi, wajahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan anakku I Sekar. Beliau tak kuasa membendung air mata haru; dipeluknya pemuda itu seraya mengusap kepalanya: "anakku Dewa Bagus Dharma, Ide Sanghyang Parama Kawi maha agung dan maha pemurah, hari ini aku dipertemukan dengan anak kandungku yang bertahun-tahun aku rindukan; nanak, ini ayahmu yang kamu cari itu" Sampai di situ Ide Bethara Dalem Tarukan tidak lagi berkata-kata; rongga dada beliau sudah penuh sesak dengan keharuan tiada tara. Tak berbeda dengan Dewa Bagus Dharma, tak kuasa beliau mengucapkan kata-kata; hanya perkataan: "aji, aji, aji" seraya mengeratkan pelukannya sambil bersimbah air mata. Lama kedua insan itu saling melepas kerinduan dan kehangatan ayah-anak sambil menceritakan riwayat masing-masing.
Beberapa saat kemudian datanglah putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan, yaitu Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari bermaksud menjemput ayahanda beliau pulang ke pedukuhan. Ide Bethara Dalem Tarukan dengan gembira mempertemukan ketiga saudara kandung buah hatinya itu. Mereka lalu pulang ke pedukuhan Pulasari dengan suka cita. Gemparlah pedukuhan Pulasari atas kedatangan penghuni baru yang tampan seperti kembarannya Gusti Gede Sekar, namun usianya sedikit lebih dewasa. Malam hari pertemuan itu dirayakan dengan meriah, makan, minum, menari, dan menyanyi. Ketujuh bersaudara lelaki, putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan asyik berbincang sampai larut malam. Akhirnya kantuk membawa mereka ke alam mimpi yang indah. Dewa Bagus Dharma sudah sejak awal memutuskan tinggal menetap bersama-sama ayah, para ibu dan saudara-saudaranya di Pulasari.
0 komentar : “Babad Pulasari - Bag. I”
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda tentang Blog / Artikel ini,
Tinggalkan sebuah komentar / saran disini......!!!
saya akan balik kunjungi anda, teriima kasih