Babad Pulasari -Bag. II



Oleh : Bhagawan Dwija 
(Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi)


Kini dilanjutkan dahulu kisah tentang Kiyai Parembu. Kiyai dengan gigih mentaati perintah Dalem Wayan mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan pegunungan sebelah utara. Disertai putranya bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin, pasukan Dulang Mangap menyelusup menyelidiki dan mencari persembunyian Dalem Tarukan, namun tidak pernah berhasil. Kadangkala ada yang memberikan informasi lokasi persembunyian beliau, tetapi ternyata informasinya menyesatkan. Arah pencarian Kiyai menuju gunung Tulukbiyu, lalu bertemu dengan Jero Dukuh Sekar. Ketika ditanya, Jero Dukuh berlaku pikun serta memberi jawaban sekenanya. Dengan perasaan kesal dan putus asa Kiyai meneruskan pencariannya tanpa arah yang jelas. Tiba di suatu tempat Kiyai duduk di bawah pohon tua yang rindang. Perasaan Kiyai tidak menentu: kesal, malu, merasa tak berharga karena tidak dapat menunaikan tugas, walaupun sudah diupayakan dengan sekuat tenaga.

Pasukan Dulang Mangap terpecah dua; sebagian besar sudah kembali ke Gelgel karena mendengar Dalem Ketut sudah bertahta di Gelgel. Kini pasukannya bersisa empat puluh orang. Hanya itulah yang masih setia mengikuti, namun sudah ada tanda-tanda mereka jemu dan kepayahan. Kiyai merenung dan timbul pikirannya yang terang. Ditanyailah dirinya sendiri, apa sebenarnya manfaat tugas yang diembannya bagi kerajaan. Bukankah perintah Dalem Wayan hanya sebuah perintah emosional yang menuruti kemarahan sesaat ? Di samping itu berita yang didengar, seolah-olah Dalem Wayan sudah digeser kedudukannya oleh Dalem Ketut. Lalu untuk siapa kini ia mengabdi ? Tetapi jika melalaikan tugas bukankah ia sudah banyak berhutang budi kepada Dalem Wayan ? Kebingungan pikiran Kiyai rupanya diketahui oleh putra dan para pengikutnya.
Seorang pembantunya memberanikan diri menyampaikan pendapat sebagai berikut : "ya, paduka Gusti, hamba mengerti bahwa hati tuan kecewa karena tidak berhasil mencari Dalem Tarukan. Namun jika tuan berkenan, hamba menghaturkan pendapat bahwa Ida Sanghyang Widhi Wasa telah melindungi Ide Bethara Dalem Tarukan sehingga beliau terhindar dari mara bahaya. Hidup dan mati semuanya ada di tangan-Nya; jika belum diperkenankan, apapun upaya manusia untuk membunuh sesama manusia tidak akan terlaksana. Oleh karena itu janganlah paduka menyesali diri terlampau berkepanjangan. Sebaiknya putuskanlah apa yang akan kita lakukan sekarang" Mendengar ucapan pembantunya demikian, mantaplah hati Kiyai Parembu; segera ia bangkit berdiri seraya berkata: "Hai kamu sekalian, memang benar seperti apa yang dikatakan temanmu ini; tidak ada yang dapat melawan kehendak Ide Sanghyang Widhi, hanya Beliau yang kuasa mengatur soal hidup atau mati. Perasaan kita saat ini sama, yaitu rasa malu yang menusuk hati karena tidak dapat menyelesaikan tugas. Karenanya aku telah memutuskan tidak kembali ke Gelgel. Kita menetap di sini saja membuka lembaran sejarah baru; siapa yang setuju boleh mengikuti saya; yang tidak setuju silahkan kembali ke Gelgel" Para pengikutnya serempak menjawab setuju.
Tidak seorangpun berniat kembali ke Gelgel. Dengan riang gembira mereka bersama-sama membangun pedesaan kecil, membuka sawah ladang dan hidup sebagai petani. Desa itu dinamakan Bugbug Tegeh. Adanya desa baru cepat tersiar ke desa-desa sekitarnya. Kiyai Poh Tegeh lalu mengirim utusan mengundang Kiyai Parembu. Kiyai Parembu merasa khawatir, karena tahu bahwa Kiyai Poh Tegeh memihak Dalem Tarukan. Semalam suntuk Kiyai Parembu berunding dengan putranya, Kiyai Wayahan Kutawaringin apakah akan memenuhi undangan itu atau menolak. Hingga larut malam belum ada keputusan, sampai keduanya tertidur kelelahan. Kiyai Wayahan Kutawaringin bermimpi ditemui seorang bidadari yang cantik jelita, bahkan bercengkrama mesra di sebuah taman yang indah. Keesokan hari mimpi itu diceritakannya kepada sang ayah. "Wah itu pertanda baik, mari kita segera berangkat ke Poh Tegeh" Menjelang sore mereka berdua tiba di Poh Tegeh, disambut dengan ramah oleh seorang gadis cantik yang kebetulan melintas di depan pemedal. Bagaikan dipukul palu godam detak jantung Kiyai Wayahan Waringin memandang kecantikan gadis itu. Bagaimana mungkin, bidadari yang diimpikan semalam berwujud persis dia.
Sedang terkesima demikian tiba-tiba tegur sapa Kiyai Poh Tegeh menyadarkan Kiyai Wayahan Kutawaringin. "Adinda Kiyai Parembu, betapa bahagianya kakanda hari ini karena dinda bersedia memenuhi undangan" Kiyai Parembu menjawab : "ya kakanda, maafkanlah dinda karena baru kali ini dapat berjumpa; dinda merasa seperti manusia yang tidak berharga dan tak berguna sehingga kelahiran dinda sia-sia belaka. Dinda tidak dapat mengemban tugas sebagai seorang kesatria sejati. Seharusnya dinda bunuh diri saja karena tiada tahan menanggung malu" Wajah Kiyai Parembu sedih memelas; cepat Kiyai Poh Tegeh menjawab: "dinda, Kiyai Parembu, tidak seorang pun akan menyalahkan serta merendahkan dinda, karena Ide Bethara Dalem Tarukan dilindungi Sanghyang Widhi. Sadarlah dinda, beliau berdua kakak beradik bertikai karena diadu domba oleh pihak lain. Janganlah dinda turut memihak dalam pertikaian itu karena tidak direstui Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang kesatria, ingatlah selalu riwayat leluhur kita yaitu Sri Jayakata dan Sri Jayawaringin ketika dilarikan ke Tumapel setelah gugurnya Sri Jayakatong. Bukankah leluhur Ide Bethara Sri Kresna Kepakisan yang menyelamatkan leluhur kita ? Dan kedatangan leluhur kita ke Bali-pun mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan. Jadi kita harus tetap berbakti kepada sentanan Dalem Sri Kresna Kepakisan, dalam hal ini baik Dalem Wayan maupun Dalem Tarukan sama-sama kita hormati. Kini keadaan berubah; Dalem Ketut sudah memimpin kerajaan. Oleh karena itu untuk apa dinda masih terus memburu Dalem Tarukan ? Keputusan dinda untuk menetap di Bugbug Tegeh kanda hargai sebagai suatu keputusan yang bijaksana" Mendengar wejangan Kiyai Poh Tegeh seperti itu legalah perasaan Kiyai Parembu. Mereka lalu bersantap malam dan berbincang-bincang dengan gembira sampai larut malam. Tiba waktunya tidur, Kiyai Parembu bersama putranya disilahkan menempati ruangan yang telah disediakan. Sekali lagi Kiyai Wayahan Kutawaringin bertemu pandang dengan gadis yang sore tadi. Goyah rasanya lutut beliau karena tak kuasa menahan dentuman api asmara yang melesat dari kerlingan si gadis.
Kiyai Poh Tegeh segera mengenalkan gadis itu kepada Kiyai Wayahan Kutawaringin seraya berkata : "nanak Winihayu Luh Toya, ini masih saudara sepupumu bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin. Ini ayahnya bernama Kiyai Parembu" Si gadis mengangguk manja terus menghilang di balik pintu. Malam itu Kiyai Wayahan tidur gelisah sampai ayam berkokok menjagakannya. Setelah berpamitan berangkatlah kedua si ayah dan anak itu pulang ke Bugbug Tegeh. Di perjalanan, Kiyai Wayahan tiada henti-hentinya berbisik di hati: "dinda Winihayu apakah dinda merasakan apa yang terpendam di hatiku" Hingga beberapa hari setibanya di Bugbug Tegeh, Kiyai Wayahan terus saja terkenang pada Winihayu. Hal ini diketahui oleh ayahnya. Singkat cerita lama kelamaan diketahui bahwa Winihayu sama-sama jatuh cinta juga kepada Kiyai Wayahan. Kedua orang tua-tua lalu berunding, akhirnya terjadilah pernikahan Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya. Dari perkawinan ini lahir dua orang putra, yaitu: Kiyai Panida Waringin, meninggal dunia pada usia muda, dan Kiyai Tabehan Waringin yang kelak di kemudian hari melanjutkan keturunan warga Arya Kutawaringin. Pernikahan antara Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya menyebabkan Kiyai Wayahan ber-ipar dengan Dalem Tarukan, karena sama-sama menikahi putri-putri Kiyai Poh Tegeh. Karena hubungan kekeluargaan inilah menambah "kemalasan" Kiyai Parembu untuk mengejar Dalem Tarukan. Patutlah dipuji strategi Kiyai Poh Tegeh yang selalu berupaya menyelamatkan Dalem Tarukan. Kembali diceritakan keadaan beliau, Ide Bethara Dalem Tarukan di desa Pulasari. Tidak ada lagi pasukan yang mengejar-ngejar beliau, sehingga kehidupan beliau aman tentram. Beliau meningkatkan ilmu kepanditaan, sampai akhirnya mampu menjadi nabe bagi para dukuh yang setia mengikuti beliau, yaitu: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Dukuh Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek Sikawan. Kepada para putranya beliau memberikan bisama sebagai berikut :
"Putra-putraku, dengarkanlah bisama yang aku berikan kepadamu dan segenap keturunanmu kelak di kemudian hari: Jika kamu meninggal dunia dan diupacarai ngaben (pelebon), dibenarkan kalian menggunakan busana sesuai dengan tata-cara sebagai seorang Raja beserta dengan segala upacaranya, paling kecil menggunakan pemereman berupa padma terawang, atau bade bertumpang tujuh, menggunakan banusa dengan galar dari bambu kuning, tumpang salu dari bambu kuning, ma-ulon, ma-jempana, kajang Pulasari, daun pisang kaikik, bale gumi berundak tujuh, bale silunglung, damar kurung, serta upacara ngaskara selengkapnya. Selain itu janganlah menerima panggilan "cai", tetapi terimalah panggilan : Jero, Gusti dan Ratu. Bisama ini aku berikan kepadamu karena kamu adalah keturunanku, keturunan Dalem" Pemberian bisama itu disaksikan oleh para Dukuh dan para Pasek yang disebutkan di atas. Mereka menyatakan akan selalu mentaati dan menjaga terlaksananya bisama itu. Tiada berapa lama setelah memberikan bisama, Ide Bethara Dalem Tarukan sakit selama tiga bulan lalu meninggal dunia pada hari Kamis Kliwon, wara Ukir, panglong ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Kamis, bulan April tahun 1399 M. Jika diperkirakan beliau lahir pada tahun 1352 M (dua tahun setelah ayahanda : Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja Samprangan) maka Ide Bethara Dalem Tarukan meninggal dunia pada usia 47 tahun.
Upacara pelebon Ide Bethara Dalem Tarukan dilaksanakan di setra Tampuwagan pada hari Sabtu, Pahing, wuku Warigadean, panglong ping pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal, tenggek kalih, isaka 1321, atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Sabtu, bulan Juni tahun 1399 M. Manggala dan pemuput karya upacara pelebon adalah : Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal. Tata laksana pelebon sebagai Raja, yaitu: pemereman bade tumpang pitu, petulangan lembu nandaka ireng ditempatkan dengan kepala di arah Barat, tirta pemuput dari Besakih, sulut pembakaran memakai keloping nyuh gading, kayu bakar memakai kayu cendana. Setelah itu abu tulang dihanyutkan di sungai Congkang. Sebulan kemudian diadakan upacara meligia di mana abu "sekah" dipendem di cungkup sebuah Pura yang dibangun sebagai Pedarman Ide Bethara Dalem Tarukan. Berhubung sudah disucikan sebagai Bethara Raja Dewata, maka sejak saat meligia itu beliau amari aran (berganti gelar) menjadi : Ide Bethara Dalem Tampuwagan Mutering Jagat.
Selama berlangsungnya upacara pelebon dan meligia, tiada henti-hentinya seluruh rakyat pegunungan mulai dari perbatasan barat: Bondalem (Buleleng), perbatasan timur: Tianyar (Karangasem), perbatasan selatan: Pantunan (Bangli) menghaturkan uang kepeng bolong dan bahan-bahan "lebeng-matah" sebagai tanda bakti, setia, hormat, dan duka cita karena ditinggalkan junjungan mereka. Aturan berupa makanan langsung disantap oleh para putra, para Ibu, keluarga, serta semua yang hadir. Karena terlalu banyak sampai tidak habis dimakan, dibiarkan membusuk sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Setelah semua rangkaian upacara selesai, bau busuk dari sisa-sia makanan, beras, uang kepeng bolong dan lain-lain makin menjadi-jadi, tidak tahan menciumnya. Para putra lalu memerintahkan rakyatnya membuang ke sungai, sampai air sungai itu berubah seperti bubur. Uang kepeng bolong yang dihanyutkan menyangkut menutupi sumber mata air sungai. Rakyat yang tinggal di hilir terheran-heran melihat air sungai berubah seperti bubur; banyak yang mengambil nasi, tumpeng, beras itu untuk diberi makan anjing atau babi.
Di sungai lainnya rakyat menemukan uang kepeng bolong yang sudah bergumpal-gumpal berkarat tidak bisa digunakan lagi. Ide Bethara di sorga loka melihat dengan sedih kejadian itu. Turunlah kutukan beliau sebagai berikut: "Wahai para putraku, kalian telah menyia-nyiakan anugerah dewata; maka kini terimalah kutukanku, mudah-mudahan kalian seketurunan tidak akan menjadi kaya atau berkecukupan. Bila ada yang bisa kaya, umurnya pendek lalu kematian menjemput sehingga keturunannya menjadi miskin kembali" Para putra yang mendengar kutukan itu kebingungan dan menyesali perbuatannya, namun apa hendak dikata karena itulah kehendak Ide Sanghyang Widhi Wasa. Dengan perasaan tak menentu para putra kembali ke pedukuhan Pulasari memulai hidup baru. Aliran sungai yang berlimpah bubur dan uang kepeng bolong itu menuju ke Kerajaan Suwecapura. Rakyat gempar berhari-hari, lalu menamakan kedua sungai itu masing-masing : Tukad Bubuh dan Tukad Jinah. Berita ini sampai ke istana Dalem Ketut (Dalem Sri Semara Kepakisan). Tahulah beliau bahwa kakak beliau telah meninggal dunia dan di-pelebon di pegunungan. Sedih hati beliau mengenang nasib Ide Bethara Raja Dewata yang sebahagian besar hidupnya dihabiskan di pengungsian. Beliau Dalem Ketut ingin memelihara putra-putra Ide Bethara Raja Dewata yang jelas masih kemenakannya sendiri.
Keesokan harinya dipanggillah Kiyai Kebon Tubuh lalu ditugaskan menjemput para kemenakan beliau itu ke hutan-hutan di pegunungan untuk diajak ke Gelgel. Disertai pengikut 50 orang, berangkatlah Kiyai Kebon Tubuh menuju utara. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, sampailah Kiyai di pedukuhan Pulasari. Kiyai berdatang sembah kepada para putra: 
"Mohon ampun, paduka para putra Dalem, hamba diutus oleh Paman paduka, Sri Aji Semara Kepakisan untuk menjemput paduka sekalian diajak pulang ke istana Suwecapura" Para putra yang dipimpin oleh putra tertua : Dewa Bagus Dharma ragu-ragu pada kebenaran maksud baik dari ucapan sang Kiyai. Bertahun-tahun para putra menghadapi kenyataan bahwa ayahanda beliau dimusuhi oleh saudara sekandung beserta menteri dan rakyat kerajaan, kini tiba-tiba ada utusan yang bernada membujuk menjanjikan kebaikan budi. Bukankah ini suatu perangkap untuk mencelakakan para putra sehingga jika dapat, agar musnahlah keturunan Ide Bethara Raja Dewata. Berpikir demikian, Dewa Bagus Dharma kemudian menolak permintaan sang Kiyai seraya menyatakan bahwa beliau beserta adik-adik tidak akan meninggalkan pedukuhan Pulasari. Kiyai Kebon Tubuh tidak berhasil membujuk para putra, lalu kembali ke istana Suwecapura. Betapa duka hati Dalem Ketut mendengar laporan Kiyai Kebon Tubuh; dimintanya Kiayi mengulangi kunjungan ke Pulasari membujuk para putra agar mau pulang ke Suwecapura.
Walaupun sampai tiga kali utusan ini pulang balik, para putra tetap tidak mau datang ke Suwecapura. Ini menimbulkan kemarahan Dalem Ketut, sehingga keluarlah perintah beliau untuk menangkap para kemenakan beliau dibawa paksa pulang ke Suwecapura. Kiyai Kebon Tubuh lalu mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dengan persenjataan lengkap. Tidak kurang dari 2000 prajurit dibawa serta, namun bukan dari pasukan Dulang Mangap. Sementara itu pihak para putra yang dipimpin oleh Dewa Bagus Dharma telah mengetahui gerakan musuh yang menjalar bagaikan ular besar dari arah selatan. Kakek beliau, I Gusti Poh Tegeh bersama kerabatnya yaitu I Gusti Ngurah Kubakal mempersiapkan pertahanan rakyat di desa Pesaban, Tembuku, dan Timuhun. Perang besar yang tidak seimbang berkecamuk dengan dahsyat, membawa korban banyak di pihak pasukan I Gusti Poh Tegeh. Dapat dimaklumi karena pasukan ini bukan prajurit terlatih, hanya bermodalkan semangat dan kesetiaan yang tinggi kepada ratunya.
Mayat-mayat yang jatuh ke sungai hanyut ke hilir akhirnya sampai ke perbatasan kota Gelgel. Dalem Ketut mendengar berita banyaknya korban rakyat biasa dalam peperangan di pegunungan. Beliau lalu memerintahkan menghentikan peperangan dan menarik pasukan Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Gelgel. Dalem Ketut menulis surat kepada I Gusti Poh Tegeh dibawa oleh utusan beliau, sekali lagi Kiyai Kebon Tubuh bersama seorang Bendesa. Surat itu diterima oleh I Gusti Poh Tegeh lalu dibaca di hadapan I Gusti Ngurah Kubakal, dan I Gusti Ngurah Puajang: "Wahai kamu sekalian para Pasek di pegunungan, serahkanlah para kemenakanku itu untuk aku asuh di Gelgel, semata-mata karena belas kasihanku dan kerinduan serta keinginanku untuk memelihara mereka sebagaimana layaknya para ratu keturunan Dalem; peperangan hanya akan merugikan kita sendiri karena banyak rakyat yang menjadi korban" I Gusti Poh Tegeh berkata bahwa beliau masih akan membicarakan hal ini kepada para putra, dan sementara agar Kiyai Kebon Tubuh pulang lebih dahulu ke Gelgel; mungkin beberapa hari lagi beliau akan menyusul mengantarkan para putra ke Gelgel. Gusti Poh Tegeh ingin memenuhi perintah Dalem Ketut karena berpendapat bahwa maksud Dalem Ketut sungguh-sungguh baik, namun perlu beberapa hari untuk meyakinkan pendapatnya kepada para putra, terutama Dewa Bagus Dharma sebagai putra tertua.
Sepulangnya Kiyai Kebon Tubuh, Gusti Poh Tegeh memanggil para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan (d.h. Ide Bethara Dalem Tarukan) seraya menyampaikan isi surat Dalem Ketut. Para putra belum sanggup member persetujuan hari itu karena masih merasa khawatir akan masa depan mereka di Gelgel sementara mereka sudah betah dan berbahagia tinggal di pegunungan. Gusti Poh Tegeh mempersilahkan para putra untuk berpikir beberapa hari agar mendapat pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan. Namun tiba-tiba tanpa diduga sama sekali datanglah gelombang serangan yang dahsyat dari para Manca Badung dipimpin oleh I Gusti Gede Kaler disertai Arya Kenceng, Ngurah Mambal, Ngurah Menguwi, dan I Gusti Ngurah Telabah. Gerakan ini sangat mengejutkan dan mengherankan para tokoh pegunungan seperti Gusti Poh Tegeh serta para kerabatnya. Beliau cepat berpikir bahwa gerakan ini bukan perintah Dalem Ketut, melainkan gerakan para arya yang merasa khawatir bila para putra Dalem Tampuwagan kembali ke Gelgel pasti akan diberi kedudukan sebagai Manca yang akan berakibat kedudukan mereka tergeser. Jadi tujuan serangan kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti Poh Tegeh bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang mempertahankan dan melindungi para putra. Perang berkecamuk seru berhari-hari, namun segera terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan bertahan yang dipimpin I Gusti Agung Bekung bersama Dewa Bagus Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat prajurit sekitar 5000 orang.
Pada suatu pagi hari di saat hujan rintik-rintik dan matahari baru bersinar terang-terang tanah gugurlah Dewa Bagus Dharma, putra tercinta Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Para Kakek, adik-adik beliau serta seluruh rakyat pegunungan berduka cita sedalam-dalamnya. Beliau sebenarnya mempunyai ilmu kekebalan tubuh pembawaan sejak lahir, namun di saat fajar kekebalan itu sirna sementara; rupanya kelemahan ini diketahui musuh. Beliau direbut berpuluh-puluh prajurit I Gusti Gede Kaler di saat fajar. Tempat gugurnya diberi nama Siang Kangin. Di situ pula layon beliau diupacarakan dan distanakan pada pelinggih yang dibangun, selanjutnya dinamakan Pura Siang Kangin.
Sejak gugurnya Ide Bethara Siang Kangin, rakyat pegunungan menderita kekalahan terus-menerus dalam peperangan. Untuk mencegah korban yang lebih banyak maka para pemimpin rakyat pegunungan berunding lalu mengambil keputusan untuk menyelamatkan para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Cara menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut : Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta perlindungan Dalem Ketut. Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling (Karangasem). Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan, menetap di suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu. Gusti Gede Balangan menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung Pasek Gelgel. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12 orang, menuju Desa Sudaji. Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah menyerahkan nasibnya kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.
Setibanya Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel, langsung menghadap Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan. Betapa gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan beliau, namun terasa agak kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir. Tetapi akhirnya beliau maklum setelah mendapat penjelasan dari Gusti Agung Pasek Gelgel bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah dipertimbangkan dengan baik. Dalem Ketut kemudian memberikan penugrahan kepada para kemenakannya sebagai berikut: "Kemenakanku semua, janganlah kalian menyamai (memadai) kedudukanku, karena kalian keturunan Kesatria yang telah diturunkan wangsanya dan kini menjadi Wesia Dalem. Sebab-sebab diturunkan wangsamu karena peristiwa di Puri Tarukan yang melibatkan kakakku Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Di kemudian hari bila kalian dan keturunanmu melaksanakan upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata-cara seorang Raja karena kalian masih menjadi satu keturunan denganku.
Cuntaka hanya tiga malam sebagaimana halnya wangsa Brahmana, Kesatria (para Ratu). Setelah cuntaka habis segeralah mebersih di mata air, selanjutnya ngayab banten pebersihan; setelah itu barulah kembali kesucianmu. Jika kalian berani menyamai kedudukanku, akan kukutuk kalian tiga kali. Hal lain yang harus kalian ingat, janganlah melupakan Pura-pura kahyangan jagat di seluruh Bali, serta janganlah mensia-siakan para Pendeta/Sulinggih dan orang-orang suci agar jagat Bali selalu trepti. Janganlah kalian melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan karena perbuatan itu akan membawa kehancuran sehingga orang-orang Bali tidak lagi bersatu. Peringatan-peringatanku ini berlaku seterusnya sampai ke anak cucu keturunanmu selanjutnya. Bila ada yang melanggar mudah-mudahan menemui bencana dalam hidupnya" Setelah berlalu beberapa masa, datanglah seorang keturunan Ide Bethara Hyang Genijaya dari Majapahit bernama Sangkul Putih bersama istri dan para putranya. Beliau mendarat di Padang lalu langsung ke Puri Gelgel menghadap Dalem Ketut. Bertepatan saat itu Ide Dalem Ketut sedang memberikan penugrahan kepada para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan yang kali ini hadir secara lengkap, yaitu: Gusti Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari, Gusti Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti Gede Balangan, dan Gusti Gede Dangin, sehingga Sangkul Putih turut mendengarkan wejangan beliau sebagai berikut: "Wahai para kemenakanku semua, kini lanjutkan penugrahan yang telah kuberikan beberapa waktu yang lalu sebagai berikut: Jika kalian memahami tentang kemoksan seharusnya kalian menjadi seorang Sulinggih karena kalian adalah seketurunan denganku, yaitu keturunan Brahmana. Oleh karena itu pula kalian harus selalu berbakti di Kahyangan Brahmana di Tolangkir (Besakih) jangan melewatkan upacara-upacara di sana sekalipun. Jika kalian melupakan, kukutuk kalian menjadi orang Sudra dan kalian tidak lagi menjadi seketurunan denganku. Demikian juga kalian harus berbakti di Kahyangan Ide Bethara Hyang Genijaya yang ada di Lempuyang dan di Tolangkir sesuai sabda Ide Bethara Brahma. Jika kalian melalaikan peringatanku ini mudah-mudahan hidupmu susah senantiasa kekurangan, kesasar tidak menemukan arah hidup. Kalian adalah keturunan Brahmana, maka bila meninggal dunia, layon harus dibungkus oleh daun muda pisang gedang Kaikik sebab ketika leluhur kita lahir beliau dialasi oleh daun muda pisang gedang Kaikik. Jika tidak demikian kalian dan keturunan kalian bukan warih Dalem. Selanjutnya beliau Dalem Ketut bersabda : "Apa yang aku anugrahkan kepadamu tadi dan selanjutnya ini adalah wahyu dari Ide Bethara Hyang Genijaya yang berstana di Lempuyang. Kalian para kemenakanku, janganlah lupa memuja dan memohon anugrah kepada Ide Bethara di Penataran Agung, Tolangkir, juga kepada I Ratu Pande, I Ratu Gede Penyarikan, serta nuntun para arwah leluhurmu untuk distanakan di tempat keturunanmu. Taatlah melaksanakan kedharmaan, jangan menentang peraturan-peraturan. Diantara keturunan-keturunanmu janganlah satu sama lain tiada mengakui bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau memindon. Di mana pun kamu berada tetaplah mengaku bersaudara; jika lupa atau tidak mengakui saudara, mudah-mudahan kamu kehilangan "soda", yaitu selalu kekurangan makanan dan minuman.
Beberapa waktu kemudian, Ide Dalem Ketut kembali mengumpulkan para kemenakan beliau (putra-putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan) lalu meneruskan penugrahan yang diterima dari para putra-putri Sanghyang Pasupati, yaitu Ide Bethara Mahadewa yang berstana di Tolangkir dan adik beliau Ide Bethari Dewi Danu yang berstana di Danau Batur sebagai berikut: Apabila diantara kalian atau keturunanmu di kemudian hari ada yang mampu Madwijati, diperkenankan pada upacara pelebon menggunakan padma trawang, pisang gedang kaikik, gamet (kapas), kesumba, serta bertingkat 5 (nista), 7 dan 9 (madia), dan 11 (utama). Itu adalah demi kesejahteraanmu. Jika mayat kalian dibakar, cuntake hanya 3 (tiga) malam; jika ditanam 7 (tujuh) malam; Jika mayat kalian dibakar, harus dilakukan upacara ngeleb awu ke segara/sungai disertai upacara ngirim; jika dilalaikan, mudah-mudahan kamu menjadi manusia yang derajatnya paling rendah karena tidak membela kewangsaan serta tidak mengenal kawitan. Selanjutnya Dalem Ketut bersabda: "Kalian kemenakanku, walaupun kalian telah disurud-wangsakan, namun kalian masih aku anugerahi hak-hak sebagai berikut: seketurunan kalian tidak kena kewajiban-kewajiban/pungutan (pajak), tidak kena pejah pajungan (hukuman mati), tidak kena cecangkriman (pembuangan), tidak kena ambungan (hukuman cambuk), tidak kena sasarandana (pungutan adat), tidak kena pepanjingan (larangan masuk ke suatu wilayah), tidak kena pecatuan (iuran di Pura), tidak kena perintah. Para penguasa di daerah, yaitu Manca dan Punggawa diberitahu semua penugrahan Ide Bethara Dalem Ketut tersebut untuk ditaati dan diindahkan, ditambah lagi penekanan agar mereka senantiasa menghormati para kemenakan beliau seketurunan. Apabila ada yang berani menentang atau tidak melaksanakan, mudah-mudahan hilang kesaktiannya dan luntur kewibawaannya. Beberapa waktu kemudian Ide Dalem Ketut memberikan tambahan wejangan setelah mendapat wahyu dari Ide Bethara Brahma: "Jika kalian dan keturunanmu meninggal, kalian harus memohon melalui Sangkulputih tirta Yeh-Tunggang dari Gunung Agung sebagai tirta pengentas. Oleh karena itu kawitan serta semua arwah leluhurmu berstana di Gunung Agung (Tolangkir) sehingga kamu wajib berbakti kepada kawitan dan arwah leluhurmu di Pedarmaan Besakih.
Bila ada keturunanmu yang sudah mebersih wenang naik-turun di pelinggih-pelinggih di Tolangkir dalam upacara yadnya. Bila ada keturunanmu yang mampu Madwijati/Madiksa, wenang mengajarkan ilmu, sastra, dan kedharmaan kepada saudara-saudaranya sehingga menjadi orang-orang yang terhormat serta diikuti petunjuk-petunjuknya oleh orang lain. Jika semuanya kalian taati dan laksanakan dengan kokoh dan tekun, mudah-mudahan kalian dapat mencapai moksah.Selain memberikan penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga memberikan "Mantri sesana", yaitu tata susila sebagai pejabat yang bertugas dan berkedudukan sebagai berikut : I Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda beliau Ni Gusti Luh Puaji. I Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai Dukuh menguasai pedukuhan Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan, Karang-suwung, dan Manikaji. I Gusti Gede Bandem diberi kedudukan sebagai Manca di Nagasari, meliputi: Tihingan, Kayuputih, Uma-anyar, dan Bangkang. I Gusti Gede Belayu diangkat sebagai Manca di Ogang, meliputi: Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan Gunung, Pakel, dan Sangkungan. I Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana Gelgel. I Gusti Gede Dangin kembali ke Sudaji. Kecuali I Gusti Gede Dangin, semua putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan diberikan pamancanggah yang memuat penugrahan tersebut di atas ditambah dengan gambar rerajahan rurub kajang dan rerajahan daun pisang Kaikik selengkapnya. Pamancanggah itu disahkan dan diumumkan oleh Ide Dalem Ketut pada Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong ping 13 (telulas) sasih Kapat, Isaka 1339 (1417 M). Pamancanggah itu diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya. Sesampainya di tempat kedudukan masing-masing, para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan menempatkannya di pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan beliau-beliau. Bila ada yang mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati pamancanggah itu mudah-mudahan dikutuk oleh Ide Bethara Kawitan.
Silsilah Ide Bethara Dalem Tarukan.
Sanghyang Pasupati berputra :
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh
Bhatara Hyang Gnijaya berputra Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)
Mpu Withadharma berputra :
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
Mpu Bhajrasattwa berputra : Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)
Mpu Tanuhun berputra :
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)

Mpu Bharadah berputra :
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula
Mpu Bahula berputra :
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali
Mpu Tantular berputra :
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan
Danghyang Kepakisan berputra : Sri Soma Kepakisan
Sri Soma Kepakisan berputra :
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
Sri Kresna Kepakisan berputra :
1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung
Mpu Tanuhun (Mpu Lampita) berputra lima, yaitu Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah. Kelimanya disebut Panca Tirta. Mpu Gnijaya menurunkan Sapta Rsi, yaitu: Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, dan Mpu Dangka. Beliau bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Saudara bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari. Adanya tali kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di pegunungan di saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan di pengungsian sebagaimana telah diuraikan di muka. Patutlah warga Pulasari berhutang budi kepada warga Pasek. Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari ide pembangunan Pura Pusat Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek. Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande). Lama-kelamaan, disungsung pula oleh seluruh rakyat Bali, mengingat di Pura Dasar Bhuwana distanakan Raja (Dalem) pertama di Bali. "Kepakisan" asal katanya "Pakis" berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar "Paku" di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M. Di Bali gelar "Pasek" yang berasal dari perkataan "Pacek"(= paku) pertama kali digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk kelompok Sapta Rsi. Ada juga warga Pasek yang di luar kelompok Sapta Rsi, yaitu keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka, selanjutnya menurunkan warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek Tarunyan, dan Pasek Kayuan. Beliau-beliau juga sangat besar jasanya menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan.
Kesimpulannya bahwa gelar: Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan berderajat sama yaitu sebagai fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu wilayah tertentu atau pemimpin suatu penugasan/jabatan tertentu yang didelegasikan oleh Dalem (Kaisar = Maha Raja, atau Raja) Bisama Ide Bhatara Dalem Tarukan. Yang dimaksud dengan Bisama Ide Bhathara Dalem Tarukan adalah pesan beliau yang bersifat sakral ditujukan kepada semua keturunan beliau menyangkut tentang hak, kewajiban, larangan, dan keharusan dalam penyelenggaraan kehidupan, hal mana bila dilanggar dipercaya akan mendapat kutukan dan akan mendatangkan bencana.Dari riwayat beliau dicatat Bisama-Bisama sebagai berikut :
1. Tidak merabas pohon atau memakan buah: Jawa, Jali.
2. Tidak mengurung, membunuh, atau memakan daging burung Puyuh dan Perkutut.
3. Tidak memakan beras mentah.
4. Mayat yang dikubur atau dibakar kepalanya di arah Barat.
5. Tidak memelihara dan memakan daging Manjangan.
6. Tidak menerima sebutan/ucapan: "cai" dan "cokor I Dewa"
7. Boleh menerima sebutan/ucapan: "Jero", "Ratu", "Gusti"
8. Upacara pelebon boleh menggunakan:
• Sebagaimana layaknya seorang Raja.
• Pemereman Padma Terawang
• Pemereman Bade Tumpang Pitu
• Benusa
• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning
• Ulon
• Jempana
• Rurub Kajang Pulasari
• Daun Pisang Kaikik
• Bale Gumi berundak tujuh
• Bale Silunglung
• Damar kurung
• Upacara ngaskara lengkap
9. Tidak membuang atau menyia-nyiakan makanan, minuman, dan uang. Penugrahan Yang dimaksud dengan penugrahan adalah wewenang, kedudukan dalam jabatan Pemerintahan Kerajaan, ijin menggunakan atribut pada saat upacara Manusia yadnya, Resi yadnya, dan Pitra yadnya yang diberikan oleh Dalem atau Pejabat yang berkuasa pada saat penugrahan itu diberikan kepada warga Pulasari. Penugrahan juga melingkup tata kehidupan lainnya, seperti hubungan persaudaraan, hubungan sosial, keharusan mentaati ketentuan-ketentuan adat dan agama, dan lain-lain.
Penugrahan pertama yang tercatat dalam Babad Pulasari adalah penugrahan yang dikeluarkan oleh Ide Bethara Dalem Sri Semara Kepakisan. Dalam perkembangan sejarah, penugrahan itu ada yang diubah, ditambah, dan dikurangi sesuai dengan politik pemerintah/kerajaan atau penguasa setempat di pemukiman warga Pulasari. Dari Babad Pulasari dicatat penugrahan Ide Bethara Dalem Sri Semara Kepakisan sebagai berikut :
01. Warga Pulasari telah "kesurud wangsa"-kan menjadi Wesia Dalem sehingga diminta untuk tidak “memada-mada” Dalem.
02.   Namun demikian dalam upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata cara seorang Raja.
03.   Cuntaka kematian : Bila dibakar, 3 malam; bila ditanam, 7 malam
04.   Selalu berbakti di Pura-pura Kahyangan Jagat Bali
05.   Selalu bakti dan ingat pada Pedanda dan orang-orang suci.
06.   Jangan melakukan hubungan suami-istri di luar perkawinan (berzina)
07.   Bila mampu dapat mempelajari kemoksaan sehingga menjadi seorang Dwijati dengan gelar Bhagawan, karena warga Pulasari (Pagosedata) masih berdarah Brahmana; karena itu wajib pula berbakti di Pedarmaan Brahmana di Besakih serta pelinggih Ide Bethara Hyaang Gnijaya di Tolangkir dan di Lempuyang, pelinggih I Ratu Pande dan I Ratu Gede Penyarikan di Besakih.
08.   Semua warga Pulasari satu sama lain harus tetap mengaku bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau memindon.
09.   Pedoman upacara pelebon: bagi Sulinggih: pemereman padma trawang bertingkat : 5,7,9, atau 11, daun pisang Kaikik, gamet, kesumba.
10.   Jika mayat dibakar (bakar biasa atau pelebon) wajib melaksanakan upacara ngeleb awu ke sungai atau laut.
11.   Dibebaskan dari: pajak, pejah panjungan, cecangkriman, ambungan lalang, sasasrandana, pepanjingan, pecatuan dan perintah. Para Manca dan Punggawa agar mentaati ketentuan ini.
12.   Pada upacara kematian agar meminta tirta pengentas "Yeh-Tunggang" dari Tolangkir melalui Ki Pemangku.
13.   Jabatan yang diberikan: Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan, Gusti Gede Pulasari sebagai Dukuh di Pulasari, Gusti Gede Bandem sebagai Manca di Nagasari, dan Gusti Gede Belayu sebagai Manca di Ogang.
14.   Kepada para putra yang menduduki jabatan-jabatan tersebut diminta untuk :
1.      Melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
2.      Memahami ketentuan-ketentuan catur warna
3.      Memahami dan melaksanakan asta beratha
4.      Menghormati dan menjaga kesucian Pura-Pura Sad Kahyangan
5.      Meningkatkan pengetahuan
6.      Menghormati dan menjunjung Pemerintah
7.      Menghormati dan menjunjung para Pendeta
8.      Tidak melakukan perkawinan yang dilarang yaitu mengawini perempuan yang tidak patut dikawini: saudara sebapak / seibu / sekandung, anak guru, wanita yang lebih tua, saudara Bapak / Ibu, anak Paman/Bibi, wanita yang mempunyai suami, wanita yang statusnya lebih tinggi.

----------oooooOOOooooo----------

Daftar Pustaka :
1.   Babad Pulasari, Gedong Kirtiya, Singaraja
2.   Babad Pulasari, Puri Agung Klungkung
3.   Babad Pulasari, Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Prop. Bali, 1998
4.   Babad Dalem, Drs. I.B.Rai Putra, Upada Sastra, Denpasar, 1991
5.   Babad Pasek, I Gusti Bagus Sugriwa, Pustaka Balimas, Denpasar, 1957
6.   Babad Arya Kutawaringin, Drs. I.B.Rai Putra, Upada Sastra, Denpasar, 1991
7.   Babad Bali Agung, Seri KGP Bendesa Manik Mas, Rsi Bintang Dhanu Manik Mas dan I N Djoni Gingsir, Yayasan Diah Tantri, Jakarta, 1996


0 komentar : “Babad Pulasari -Bag. II”


SILAHKAN DICOBA - KOMENTAR DI FACEBOOK



Posting Komentar

Bagaimana menurut anda tentang Blog / Artikel ini,
Tinggalkan sebuah komentar / saran disini......!!!
saya akan balik kunjungi anda, teriima kasih


free counters

BALI