Perubahan wajah pertunjukan Calonarang di Bali akhir-akhir ini menarik untuk disimak. Belakangan ini dramatari Calonarang, termasuk kesenian lainnya yang sejenis seperti Wayang Calonarang, Arja Calonarang (Basur), cederung menjadi semakin garang dan menantang dengan ditonjolkannya adegan-adegan yang memperlihatkan pameran kekebalan dan kekuatan batin.
Di Bali pertunjukan Dramatari Calonarang adalah sebuah seni pertunjukan tradisional Bali yang melakonkan kisah-kisah yang menyangkut pertarungan antara ilmu hitam yang berhaluan kiri (pangiwa) dan ilmu putih yang berhaluan kanan (panengan).
Tokoh sentralnya adalah Calonarang atau Walunateng Dirah (si janda raja yang berdiam di Dirah) yang melaksanakan ilmu hitam, dan Empu Bharadah, pendeta brahmana dari Lemah Tulis, yang memegang ajaran ilmu putih. Di dalam kisah ini sesungguhnya terdapat unsur ilmu hitam dan putih secara berimbang. Namun, karena peran Calonarang (dalam wujud matah gede dan rangda) yang dominan, maka citra yang muncul adalah bahwa Calonarang adalah sebuah dramatari tentang ilmu hitam.
Di Bali pertunjukan Dramatari Calonarang adalah sebuah seni pertunjukan tradisional Bali yang melakonkan kisah-kisah yang menyangkut pertarungan antara ilmu hitam yang berhaluan kiri (pangiwa) dan ilmu putih yang berhaluan kanan (panengan).
Tokoh sentralnya adalah Calonarang atau Walunateng Dirah (si janda raja yang berdiam di Dirah) yang melaksanakan ilmu hitam, dan Empu Bharadah, pendeta brahmana dari Lemah Tulis, yang memegang ajaran ilmu putih. Di dalam kisah ini sesungguhnya terdapat unsur ilmu hitam dan putih secara berimbang. Namun, karena peran Calonarang (dalam wujud matah gede dan rangda) yang dominan, maka citra yang muncul adalah bahwa Calonarang adalah sebuah dramatari tentang ilmu hitam.
Cerita Calonarang mengisahkan rangkaian peristiwa yang terjadi pada zaman pemerintahan Prabu Erlangga di Kahuripan (Jawa Timur) pada abad IX. Ia menceritakan perbuatan si janda sakti dan guru ilmu hitam dari Dirah bernama Calonarang yang menyerang kerajaan Daha yang menyebakan jatuhnya banyak korban jiwa manusia tak berdosa. Untuk menghentikan perbuatan janda berputrikan Ratna Mangali ini, Prabu Erlangga minta bantuan kepada seorang brahmana dari Lembah Tulis bernama Empu Bharadah, yang dengan kekuatan ilmu putihnya berhasil mengalahkan Calonarang. Adapun bagian-bagian cerita Calonarang yang lazim dipentaskan adalah: Katundung Ratna Mangali, Iyeg Rarung, Kautus Empu Bahula, dan Pangesengan Baingin. Masyarakat Bali juga memasukkan cerita Balian Batur, Basur, Sudarsana, Patih Prabangsa, dan Dayu Datu, yang sedikit banyak menyangkut ilmu hitam, sebagai lakon Calonarang.
DRAMATARI Calonarang, yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat Bali, kini telah berkembang menjadi tiga varian: Calonarang Klasik, Calonarang Prembon, dan Calonarang Anyar. Ketiganya masih tetap menampilkan lakon-lakon yang berkaitan dengan masalah ilmu hitam (pangeliyakan), masing-masing varian menyajikan lakon Calonarang menggunakan berbagai elemen-elemen seni, dengan struktur pertunjukan serta fokus estetik yang berbeda-beda.
Calonarang Klasik, yang diperkirakan muncul sekitar akhir abad XIX di Daerah Gianyar Barat (Batubulan, Singapadu, Sukawati), dibentuk oleh unsur-unsur Bebarongan, Pegambuhan, dan Palegongan (tiga jenis seni pertunjukan klasik yang berkembang baik di Kabupaten Gianyar). Unsur Babarongan diwakili oleh barong ket, rangda, dan celuluk; Pegambuhan oleh condong, putri, patih manis (Panji) dan patih keras (Pandung); dan Palegongan oleh sisia-sisia. Peran-peran penting lainnya yang lahir dari dramatari ini sendiri adalah matah gede (wanita tua) dan bondres (orang-orang desa yang berwatak lucu).
Pertunjukan Calonarang Klasik (seperti yang ada di Desa Singapadu, Batubulan, Sukawati, dan sekitarnya) mencakup tiga bagian: pembukaan (pategak), sajian tari dan drama (paigelan), dan penutup (panyuwud). Bagian paigelan masih bisa dipisahkan menjadi dua: tarian lepas (pangelembar) dan tarian berlakon (lampahan). Untuk mengawali pertunjukan, biasanya dimainkan tabuh pategak yang dimainkan dengan gamelan Bebarongan atau Semarpagulingan (belakangan ini gamelan gong kebyar juga banyak dipakai).
Calonarang Prembon pada intinya adalah dramatari Calonarang campuran (per-imbuh-an) yang memadukan elemen-elemen seni pertunjukan Bebarongan, Pegambuhan, Palegongan, dan Paarjaan. Peran-peran Paarjaan yang dimasukkan ke dalam Calonarang meliputi: inya, galuh, mantri manis, dan mantri buduh. Dalam pertunjukan dramatari Calonarang Prembon terjadi dialog antara peran-peran yang memakai dialog Pagambuhan dan yang memakai dialog bertembang (magending) seperti dalam Arja. Secara umum, struktur pertunjukan Calonarang Prembon tidak jauh berbeda dengan, bahkan dapat dikatakan mengikuti Calonarang Klasik.
Seniman serba bisa I Made Sija (Bona) memperkirakan bahwa Calonarang Prembon baru muncul sekitar awal tahun 1970-an, atau sekitar dua dekade setelah munculnya dramatari Topeng Prembon, sebagai dampak dari populernya Arja. Lebih jauh dikatakan bahwa munculnya dramatari Calonarang magending ini karena munculnya desakan masyarakat untuk memasukkan bintang-bintang Arja ke dalam Calonarang, sementara mereka lebih biasa nembang (macapat) dari pada nandak mengikuti melodi gamelan. Patut dicatat, sejak tahun 1970-an Calonarang Prembon menjadi semakin populer di masyarakat. Banyak yang memperkirakan bahwa hal ini disebabkan oleh kemungkinan Calonarang Prembon yang sekaligus dapat memuaskan selera pencinta Calonarang dan penggemar Arja.
Calonarang Anyar (Kontemporer) adalah bentuk perkembangan dramatari Calonarang yang paling baru. Grup yang mengawali pertunjukan dramatari Calonarang dengan struktur yang berbeda dengan kedua bentuk Calonarang yang disebutkan di depan adalah Gazes Denpasar melalui dua kali pertunjukannya selama dua bulan terakhir ini di Panggung Ardha Candra, Taman Budaya Denpasar (pada tahun 2003).
Seperti yang terlihat dalam pementasan dengan “Balian Batur” pada bulan Oktober dan November yang lalu, dramatari Calonarang Anyar pada dasarnya adalah sebuah tontonan multimedia dan sajian seni drama yang melakonkan kisah Calonarang atau yang sejenisnya, secara kolosal, dengan memadukan berbagai media yang antara lain diambil dari Calonarang Klasik, Wayang Listrik, seni Ogoh-ogoh, Wayang Kulit Calonarang, tari Kontemporer, dan pameran seni pangeliyakan.
Sebagai pengiring pertunjukan Calonarang ini digunakan gamelan (Semarandana), yang ditambah dengan keyboard, gitar, dan jembe. Di sela-sela pertunjukan terdengar sound effect yang dimainkan dengan keyboard.
Satu hal yang sangat ditonjolkan adalah pameran kekebalan batin dan ilmu hitam (pangeliyakan). Pada dua kali pertunjukan yang diadakan baru-baru ini, pemimpin grup sekaligus sutradara Calonarang ini sejak awal sudah memberi tahu para penonton, terutama yang memiliki keahlian “aji ugig”, bahwa pada bagian-bagian tertentu dari pertunjukan mereka dipersilakan untuk “menyerang” dirinya, atau para mangku dan pakar kebatinan lainnya yang ikut serta dalam pertunjukan ini, dengan ilmu sihir apa saja yang dimiliki.
Para “orang pintar” yang diundang secara khusus untuk acara ini di tempatkan di tempat duduk tersendiri. Di sela pertunjukan dilakukan ceramah, dialog, dan peragaan kekuatan tenaga dalam oleh para pakar, dan pada akhir pertunjukan ditampilkan bangke-bangkean. Dalam kedua pertunjukan ini ditampilkan tidak kurang dari sembilan rangda dengan warna dan karakter yang berbeda-beda.
Ada beberapa jenis seni pertunjukan tradisional Bali yang dapat dimasukkan ke dalam seni Pacalonarangan karena memainkan lakon Calonarang atau yang sejenisnya. Bisa disebut antara lain: Barong Ket Calonarang, Wayang Kulit Calonarang, Legong Keraton Sudarsana, Joged Pingitan Calonarang, Andir Patih Prabangsa, dan Arja Basur. Belakangan ini drama Gong dan Gambuh juga memainkan lakon-lakon Calonarang atau yang sejenisnya. Dikarenakan dalam pertunjukan kesenian-kesenian ini tokoh rangda (dan juga barong) memegang peranan penting; dan dalam setiap pertunjukan Calonarang selalu ditampilkan adegan adu kekuatan batin, maka muncul suatu kesan bahwa semua seni pertunjukan Bali yang menampilkan rangda adalah Calonarang, dan setiap pertunjukan Calonarang adalah ajang pameran adu kekebalan dari orang-orang sakti.
WAJAH pertunjukan Calonarang (Klasik, Prembon, Kontemporer) telah berubah menjadi suatu pertunjukan horor yang meneror penonton dengan adegan-adegan yang berisikan ilmu kekebalan. Sesungguhnya hal ini sudah ada sejak dahulu, namun dalam sepuluh tahun terakhir ini menjadi satu unsur pertunjukan yang semakin diutamakan.
Informan I Made Sija dan I Wayan Jebeg mengatakan, adegan ngundang-ngundang liyak secara terbuka dan terang-terangan, demikian juga prosesi penguburan (nusang-nusangan), mulai banyak ditampilkan dalam pertunjukan Calonarang Klasik maupun Calonarang Prembon sejak tahun 1970an atau awal 1980an. Di sini “undangan istimewa” itu ditujukan secara terbuka kepada setiap orang agar untuk menyerang pemain mayat yang terlentang di tengah pentas, atau jika masih belum puas, mereka dipersilakan menyerang para pendampingnya. Sang pengundang secara gamblang memberikan keleluasaan waktu bagi mereka yang ingin menyerangnya, lengkap dengan alamat beserta nomor telepon.
Walaupun penampilan prosesi penguburan sudah ada sejak tahun 1940-an, sesuai dikatakan seniman I Wayan Jebeg dari Batubulan, prosesi ini tidak disertai dengan ngundang-ngundang liyak. Lebih jauh dikatakan bahwa rahasia-rahasia ilmu hitam atau ilmu putih biasanya dibalut ke dalam bagian-bagian tertentu dari pertunjukan. Misalnya, pada bagian sisia ngereh, peran condong akan menyebutkan kesaktian “adik-adiknya”, termasuk ilmu sihir yang telah diberikan oleh sang ratu (Walunateng Dirah) untuk menggugah semangat mereka. Ketika pandung akan menikam rangda yang masih tertidur di dalam trajangan, tokoh ini bisa membeberkan kesaktian yang dimiliki oleh Ni Rangda sekaligus menjelaskan ilmu-ilmu yang dapat menandinginya. Pada adegan bondres para pemain sering kali menjadikan seni pengliyakan sebagai bahan lelucon (untuk mencairkan suasana agar penonton tidak terlalu tegang atau ketakutan). Akhirnya pada adegan rangda, tokoh Calonarang ngundang-ngundang, namun dengan maksud memanggil sekaligus mengundang anak buahnya untuk menghadap ibunya untuk ikut mengejar musuh (Patih Taskara Maguna) yang telah menyerang dirinya secara tiba-tiba.
Adegan ngundang-ngundang seperti ini adalah suatu hal yang sudah biasa dalam pertunjukan Wayang Kulit Calonarang. Beberapa dalang Wayang Kulit Calonarang menjadikan bagian ngundang-ngundang liyak ini sebagai salah satu elemen pertunjukan yang sangat ditonjolkan sekaligus sebagai daya tarik. Pada bagian ini si dalang secara terbuka dan terang-terangan menyebutkan “identitas” orang-orang yang mempunyai dan mempraktikkan ilmu hitam, tempat di mana yang bersangkutan memperoleh kesaktian tersebut, tingkat kemampuan orang tersebut, kadang-kadang dengan menyebutkan harga dari sabuk pengeliyakan yang dimiliki seseorang.
Gelombang pasangnya popularitas pertunjukan Calonarang dengan pameran ilmu kakebalannya mengingatkan kita akan gelombang pasang popularitas kesenian Janger di Bali, dengan berbagai provokasi politiknya pada pertengahan tahun 1960-an. Di tengah-tengah gelombang kesenian Janger yang melanda seluruh pelosok Pulau Bali, masyarakat menjadi kebingungan tidak tahu mau ke mana. Masyarakat mengalami masa yang tidak menentu dan sulit dikendalikan, yang sering juga disebut “jangeran.” Klimaksnya adalah terjadinya tragedi nasional, Gerakan 30 September 1965 oleh PKI, yang memakan banyak korban jiwa manusia tak berdosa.
APABILA kita bercermin pada pertunjukan Calonarang, dalam wajahnya yang semakin garang dengan berbagai sajian ilmu hitam dan pameran kekebalannya, kita bisa melihat refleksi dari sebuah realita yang diakibatkan oleh terjadinya kebobrokan moral, krisis sosial, dan kultural di republik ini. Sudah sejak lama, dan hingga kini masih berlangsung bahkan akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, kita melihat perilaku hitam dan busuk dari elite-elite bangsa yang tidak bertanggung jawab, yang dengan pongah menggerogoti kekayaan negara untuk memperkaya dirinya.
Semakin banyak kita dengar akan adanya orang-orang yang melakukan tidak kejahatan dan kekerasan, atau yang menggunakan rekayasa dan tipu daya busuk seperti “ilmu-hitam”, serta yang berperilaku serba terbalik-balik (nungkalik), atau yang suka memutarbalikkan fakta sesuai kepentingannya seperti yang dilakukan oleh liyak-liyak di dalam pertunjukan Calonarang.
Menjelang karya agung, pesta demokrasi pemilihan umum, kita harus lebih waspada menghadapi orang yang sudah “kesetanan” yang tidak lagi bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang boleh dan yang tidak boleh, dan seterusnya, yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Calonarang beserta anak buahnya yang hanya mengeksploitasi sisi hitam dari ilmu calwanarang (yang berimbang) untuk menghancurkan Kerajaan Daha, guna melampiaskan rasa dendam dan bencinya sekaligus untuk menunjukkan kekuatan dan kekuasaan dirinya.
Akankah datang seorang Empu Bharadah yang dengan ketulusan dan kejujuran hati mau dan mampu membalikkan bahkan menghentikan pengaruh kekuatan “ilmu hitam” yang telah merasuk ke dalam jiwa dari banyak anak-anak bangsa agar republik ini bisa selamat dari kehancurannya? Sejujurnya, tak seorang pun yang tahu dengan pasti jawaban atas pertanyaan ini. Kita hanya bisa berdoa sembari berharap, semoga tidak lama lagi akan muncul tokoh penyelamat bangsa yang memiliki kekuatan pamungkas seperti yang digambarkan dalam dramatari Calonarang.
0 komentar : “CALONARANG”
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda tentang Blog / Artikel ini,
Tinggalkan sebuah komentar / saran disini......!!!
saya akan balik kunjungi anda, teriima kasih