Babad IDA BANG MANIK ANGKERAN -
ARYA WANG BANG PINATIH Lanjutan III,
Sumber : www.pinatih.org
Dukuh Sakti Pahang Mapamit Moksa Dikisahkan sesudah lama Kyai Anglurah Agung Gde Pinatih memegang kekuasaan di wilayah Pinatih, datanglah masa tidak mengenakkan. Ada anggota masyarakat beliau yang dipakai sebagai mertua bernama I Dukuh Pahang atau I Dukuh Sakti. I Dukuh Sakti memang seorang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, ahli dalam ilmu sastra yang mahautama, paham tentang Catur Kamoksan atau jalan Moksa yang empat, serta Falsafah menuju Kematian atau Tattwa Pati. Suatu saat I Dukuh menghadap kepada I Gusti Anglurah Pinatih : ?Aum Ki Arya Agung Pinatih, hamba sekarang memohon diri kepada tuanku, akan pulang ke Sorgaloka, akan moksah?.
Karena demikian kata I Dukuh, menjadi marah Kyai Anglurah Pinatih, serta berkata : ?Uduh Kaki Dukuh, seberapa besar karya yang Ki Dukuh sudah buat sehingga bisa mengatakan akan moksa ?. Saya saja yang begini, menjadi penguasa, banyak memiliki rakyat, kokoh membangun kebaikan, tidak bisa melakukan moksa. Sekarang kalau benar seperti yang dikatakan Dukuh yakni akan pulang ke dunia sana dengan moksa, saya akan berhenti menjadi penguasa di negara Badung?.
Baru saja demikian kata Kyai Anglurah Pinatih, segera Ki Dukuh berkata : “Aum Kyai Anglurah Agung Pinatih, sebagai ratuning Jagat Kerthalangu, janganlah I ratu berkata demikian kepada hamba !. Memang benar hamba bisa moksa, ini simsim hamba bawa agar tuanku tidak kabjrawisa !” ?Ah masa aku kurang apa. Sekarang kapan sira Dukuh akan melakukan moksah ??. menjawab sira Dukuh : ?Inggih, pada hari besok hamba akan pulang moksa, pada saat sang Surya tepat? diatas kepala?. Demikian atur sira Dukuh.
Karena sudah pasti janji I Dukuh akan moksa, kemudian Kyai Anglurah Agung Pinatih memberitahukan kepada para bala dan menterinya semua agar mengawasi di rumah Ki Dukuh, serta agar membawa tongkat, kalau ? kalau sira Dukuh dengan tongkat itu. Demikian perintah Ida Kyai Aglurah Agung Pinatih kepada rakyatnya semua. Pada keesokan harinya, semua bersiap, bala pasukan serta para menteri menuju tempat kediaman sira Dukuh. Sesampainya disana dilihat sira Dukuh sedang menggelar yoga samadhi, menghadapi pedupaan. Sesudah masak betul yoganya, kemudian Ki Dukuh menyampaikan sapa kutukan bagi Kyai Anglurah Agung Pinatih : ?Inggih Kyai Anglurah Agung Pinatih, ratuning wilayah Kerthalangu, Jhah Tasmat ? semoga Kyai Anglurah Pinatih dirusak semut !?. Sesudah menyampaikan sapa kutukan itu, Ki Dukuh masuk ke pedupaan besar itu, lepas, hilang tidak kelihatan lagi Ki Dukuh. Memang benar Ki Dukuh moksa tidak kembali lagi. Inggih hentikan dahulu sampai disini. Sesudah itu, merasa kagum takjub rakyat Kyai Anglurah Agung Pinatih, memang benar Ki Dukuh moksa, kemudian disampaikannnya kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih prihalnya sira Dukuh. Saat itu Kyai Anglurah Agung Pinatih berdiam diri, berpikir dalam hatinya, terlanjur mengeluarkan kata ? kata tidak baik. Kyai Pinatih Berpindah Tempat Dari Kerthalangu
Sesudah satu bulan tujuh hari lamanya, datanglah ciri Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi didatangi semut tak terhitung banyaknya merebut, ada dari bawah, dari atas, jatuh berkelompok ? kelompok. Itu sebabnya merasa gundah hati Kyai Anglurah Agung Pinatih beserta para isteri, putra, cucu semuanya. Karena demikian keadaannya, kemudian diadakan pertemuan dengan sanak saudara semuanya, berencana akan berpindah dari Purian, menuju Pura Dalem Paninjoan. Sesampainya disana, kemudian diberitahukan semua rakyatnya untuk membuat Taman dikitari dengan telaga, telaga itu dikelilingi api, ditengahnya telaga barulah dibangun tempat peraduan. Namun masih saja dicari, direbut oleh semut, berbukit ? bukit tingginya kemudian jatuh di tengahnya taman itu. Karena itu halnya, kembali Kyai Agung Pinatih menyelenggarakan pertemuan, bertukar pikiran dengan saudaranya semua serta didampingi oleh rakyatnya. Semuanya merasa masgul, kemudian meninggalkan Pura Dalem Paninjoan, berpindah lalu berdiam diri di sebelah timur sungai, diiringi rakyatnya semua. Tentu saja Kyai Anglurah Agung Pinatih berpikir tentang kedigjayaan sira Dukuh. Kemudian beliau merencanakan akan berpindah dari tempat itu, serta diberitahukan kepada balanya, siapa yang sanggup menjaga Pura Dalem itu, boleh tidak mengiringkan Kyai Anglurah Pinatih. Kemudian segera matur anggota masyarakat beliau yang bernama Ki Bali Hamed, ia akan menuruti kehendak beliau untuk menjaga Pura? Dalem itu. Pada saat itu I Gusti Tembawu menyatakan tidak bisa mengikuti keinginan ayahandanya, demikian juga I Gusti Ngurah Kepandeyan, yang pernah berpaman dengan I Dukuh, dan karena memang tidak baik dalam hubungan bersanak saudara, karena sudah terlanjur bertempat tinggal disana serta memperoleh kebaikan di wilayah Intaran. Usai sudah perbincangan diadakan, kemudian diputuskan hubungan pasidikaraan dengan I Gusti Tembawu dan I Gusti Kepandeyan. Disebabkan karena masih juga diburu oleh semut, kembali beliau beralih tempat bersama menuju Geria milik Ida Peranda Gde Bendesa dan di tempat tinggal Ida Peranda Gde Wayan Abian, seperti para putranya semua, yang ada di Kerthalangu, ke Padanggalak, disana Kyai Anglurah Agung Pinatih bertempat tinggal diiringi rakyatnya semua. Penuh sesak disana di pinggir sungai Biaung, disana Kyai Anglurah Agung Pinatih menghaturkan rakyat 60 KK kepada Ida Peranda berdua. Ida Peranda berdua merasa senang hati mendapatkan warga itu semua yang handal didapatkan oleh beliau Ida Peranda, yang bernama Ki Bendesa Kayu Putih, Macan Gading, I Pasek Kayu Selem, semua bertempat tinggal di Tangtu. Di sana kemudian ada perjanjian Kyai Anglurah Agung Pinatih di hadapan Ida Peranda berdua, menyatakan sudah putus hubungan kekeluargaan dengan I Gusti Tembawu, sebab sudah berumah di I mangku Dalem Tembawu. Karena demikian yang didengar oleh I Mangku Dalem Tembawu lalu dibalaslah pernyataan Kyai Anglurah Agung Pinatih. Katanya : ?Mudah ? mudahanlah yang membawa pusaka keris yang bernama I Brahmana serta tumbak yang bernama I Baru Gudug, pada saat menyelenggarakan upacara ala ataukah ayu, jika tidak ada I wong Tembawu, mudah ? mudahan tidak berhasil upacara itu?. Dibalaslah oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih : ?Mudah ? mudahab I wong Tembawu itu kaya dengan pekerjaan?. Demikian pernyataan Kyai Anglurah Agung pinatih. Kemudian I Gusti Tembawu dipakai menantu oleh I Mangku Dalem Tembawu. Setelah itu Kyai Anglurah Agung Pinatih disertai oleh adiknya serta sanak saudaranya semua memohon kepada Ida Peranda berdua, akan membangun Panyiwian di ujung desa Biaung, dinamai Pura Dalem Bangun Sakti, disungsung oleh rakyatnya yang ada si Biaung. Ida Peranda berdua dengan senang hati memberikan restu untuk hal itu. Disana kemudian Ida Peranda berdua berdiam membuat Pura Dalem Kadewatan, Puser Tasik Batur dan Kentel Gumi, untuk wilayah Padanggalak. Hentikan dahulu. Diceritakan kembali setelah beberapa lama Kyai Anglurah Agung Pinatih bertempat tinggal di Padanggalak, kembali direbut semut. Karena itu kembali beliau berpindah tempat menuju Alas Intaran ? Mimba semuanya. Tidak berapa lama disana, ada lagi cobaan dari Yang Maha Kuasa, ada ikan Aju datang dari tengahnya laut, semuanya terhempas ke pantai tidak terbilang banyaknya. Itu sebabnya kemudian orang di Intaran segera membuat tembok dengan pohon pepaya, diperintahkan oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih. Memang merupakan cobaan dari Hyang Widhi, tembok itu ditubruk oleh ikan itu dihempas ? hempas? hingga rusak, itu sebabnya banyak bangkai ikan di tepi pantai sampai ke tengah hutan. Kemudian datanglah semut merebut bangkai ikan itu. Semakin banyak semut itu datang, serta ikan itu berulat, baunya sangat busuk. Itu sebabnya menjadi gundah orang disana, dan kelak kemudian hari tempat itu dinamai Ajumenang. Karena semuanya merasa gundah, merasa tidak tahan dengan bau ikan yang sangat busuk itu, banyak anggota masyarakat yang ada di Intaran berpindah kesana kemari mencari perladangan. Ada yang mencari tempat di Kepisah, ada di Pedungan, di Tegal, di Glogor Carik, di Seminyak, memohon diri kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih. Karena demikian keadaannya, semakin masygul hati Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi, serta menyesali diri, karena sudah terlanjur menyampaikan pernyataan tidak baik, tidak boleh berkata sumbar, sangat berbahaya dikatakan, dan hal itu sudah menjadi bukti, buahnya dipetik sekarang. Singkat ceritera, Kyai Anglurah Agung Pinatih, kemudian memohon diri kepada Ida Peranda berdua, akan beralih tempat ke wilayah Blahbatuh, semuanya dengan rakyatnya. Bagaikan bibit pepohonan yang besar yang ditimpa panas membara serta angin ribut rasanya, karena itu berpencar para putranya, juga saudaranya I Gusti Ngurah Anom Bang yang dipakai menantu oleh Ki Karang Buncing di Blahbatuh. Sejak saat itu putus pula hubungan pasidikara. I Gusti Blangsinga, pergi tanpa tujuan seraya membawa pusaka. Entah berapa lama berdiam di Blahbatuh, kembali ada semut yang datang, kembali beralih tempat dari sana menuju desa Kapal. Di Kapal, karena tempat disana sempit untuk banyak orang, sehingga bisa berjejal disana, maka Kyai Anglurah Agung Pinatih mengutus I Gusti Tembuku, I Gusti Putu Pahang serta I Gusti Jumpahi, untuk mencari tempat, yang kemudian pergi menuju ke arah timur, ditemuilah hutan perladangan yang cukup luas bernama Huruk Mangandang juga disebut Pucung bolong. Disebelah utaranya adalah wilayah Dewa Gede Oka dari Tama Bali dan sebelah timurnya adalah sungai Melangit namanya. Prihal tempat itu dipermaklumkan kepada I Gusti Ngurah Agung, kemudian dilanjutkan gotong royong membersihkan hutan tersebut. Dalam perjalanan merabas hutan ada tempat ditemukan salah satu yang agak angker, lalu ditempat tersebut dibangun tempat persembahyangan sekarang bernama Pura Dalem Agung, yang merupakan sungsungan Desa Adat.
Pada Utama Mandala? ada Pelinggih berjejer menghadap kebarat paling Utara disebut Pelinggih Dalem Muku, Dalem Pande dan Dalem Dura. Kemudian melanjutkan perjalanan keutara lalu menetap dan membangun tempat tinggal atau Puri termasuk juga membangun Tempat Suci atau Parhyangan, sebagai tempat untuk memegang wilayah dan parhyangan Sthana Ida Bhatara Kawitan. Tempat Pemujaan dulu bernama Pemerajan Agung Pinatih dan sekarang bernama ? Pura penataran Agung Pinatih? di puri Tulikup, yang merupakan tempat tonggak sejarah yang harus diingat oleh seluruh warga besar Arya Wang Bang Pinatih. Disamping itu Pura Penataran Agung Pinatih menjadi satu dengan Dang Kahyangan Pura Sakti pada Utama Mandala termasuk Pemedel Ageng juga satu. Sehingga menetap di Puri Tulikup bersama keluarga besar dan putra ? putri beliau berdua dikelilingi oleh rakyat serta sanak saudaranya. Sesudah baik keadaan Huruk Mangandang, sejak itu disebut dengan Pradesa Tulikup utawi Talikup dan sekarang bernama Desa Tulikup.
Diceritakan kembali I Gusti Ngurah Anom Bang yang dipakai menantu oleh Ki Karang Buncing, diputuskan hubungan pasidikaraannya oleh keluarganya, namun masih kokoh kuat natad ? membawa kalingan ? keluhuran beliau, sebagai warga Pinatih, walaupun sudah dipatah ? putuskan pasidikaraannya. Setelah berputera, kemudian I Gusti Ngurah Bang beralih tempat ke desa Batubulan, putranya masih di Blahbatuh. I Gusti Bang mengambil istri putri dari I Dewa Batusasih , mendapatkan putra, bernama I Gusti Putu Bun bertempat tingga di Batubulan, I Gusti Made Bun pindah ke desa Lodtunduh, ayahnya masih di Batubulan, didampingi oleh putranya yang lain bernama I Gusti Putu Bija Karang, adiknya yang bernama I Gusti Bija Kareng mengungsi ke wilayah Peliatan, Krobokan, juga adiknya yang dua lagi I Gusti Bawa serta I Gusti Bija bertempat tinggal di Dawuh Yeh serta Dangin We. Kemudian I Gusti Bawa pergi tanpa arah tujuan ke arah barat Er Uma membangun sanggar-kabuyutan yang bernama Pura Lung Atad. Ada juga sanak saudara beliau yang berpindah tempat menuju kawasan Gelgel, ada yang ke Karangasem berdiam di Bebandem. Hentikan dahulu. Ada ceritanya putra Ki Arya Bang Pinatih yang bernama I Gusti Ketut Bija Natih kemudian menurunkan Ketut Bija Natih, masih di wilayah Kerthalangu, menjadi pemangku di Dalem 41 Kerthalangu, lalu ada yang berpinda ke arah selatan, ada di Bukit, ada di Jimbaran, di Ungasan serta Umadwi. Demikian ceritanya dahulu. Entah berapa lama Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi memerintah Puri Tulikup bersama adiknya, ternyata kemudian pecah persaudaraannya dengan adiknya Kyai Anglurah Made Sakti. Halnya seperti dibawah ini. Cokorda Nyalian Memperluas Wilayahnya Diceritakan Cokorda Panji Nyalian berkeinginan untuk memperluas wilayahnya. Kemudian datang dia ke Uruk Mangandang mempermaklumkan sebagai utusan Dalem yang berkehendak agar Kyai Anglurah Pinatih menghadap kepada Dalem di Gelgel semuanya, diiringi oleh rakyat, para putra dan cucu, karena ada hal penting yang hendak dititahkan oleh Ida Dalem. Pada saat itu diadakan pertemuan dengan sanak saudara, yang berkemukan seperti sang kakak dan sang adik. Kesimpulan pertemuan itu, sang kakak akan melaksanakan perintah Dalem. Saat itu berkata sang kakak Kyai Ngurah Gde Pinatih kepada adiknya Kyai Ngurah Made Sakti : ?Bila adinda tidak akan mengikuti kanda, kakanda akan menghadap kepada Dalem, walaupun adinda memohon diri kepada kakanda, dan walaupun nanti adinda akan bertempat tinggal jauh, agar jangan sekali ? sekali lupa bersaudara di kelak kemudian hari?. Kemudian berkata adiknya : ?Uduh, kakandaku, dinda menuruti kata ? kata kanda?. Setelah usai pertemuan tiu, kemudian dibagi dua milik beliau berdua seperti pusaka sampai dengan rakyat. Beliau sang kakak Kyai Anglurah Agung Pinatih membawa Keris Ki Brahmana serta tumbak yang bernama I Barugudug. Adiknya Kyai Ngurah Made Sakti membawa segala perlengkapan pemujaan, seperti pasiwakaranaan serta pustaka. Sesudah itu, karena Kyai Anglurah Agung Pinatih masih sangat hormat dan bakti kepada Daalem, maka sekalian bersama ? sama pergi menuju Puri Suwecapura diiringi olah sanak saudaranya serta rakyatnya. Kyai Anglurah Made Sakti, kemudian menuju arah barat, diikuti juga oleh saudara ? saudara, cucu semuanya serta rakyat, dan tidak diceritakan di perjalanan, akhirnya sampai di Jenggalabija. Pada saat itu paman beliau I Gusti Gde Tembuku kemudian pindah dari Tulikup menuju Buruan terus ke Pliatan, dan berdiam di Tebesaya. Hentikan dahulu prihal I Gusti Ngurah Made sakti yang bertempat tinggal di Jenggala Bija dan I Gusti Gde Tembuku yang ke Tebesaya. Juga diceritakan prihal para putra Arya Bang Pinatih yang lain seperti putra I Gusti Made Pahang di Tulikup, yang sulung bernama I Gusti Putu Pahang pindah dari desa Tulikup menuju desa yang kemudian bernama Jagapati, I Gusti Made Pahang masih bertempat tinggal di Tulikup, I Gusti Nyoman Pahang kembali ke wilayah Pahang, I Gusti Ngurah Ketut Pahang pindah ke desa Selat. I Gusti Kaja Kauh pindah menuju wilayah Bebalang, Bangli disambut disana oleh sanak saudara dari Arya Bang Wayabiya. 42 Di Tulikup, para putra Ki Arya Bang Pinatih menguasai tempat dan kemudian membangun sthana Pamerajan masing ? masing, seperti para putra I gusti Bona, I Gusti Benculuk, I Gusti Sampalan, I Gusti Pandak, I Gusti Nangun, I Gusti Berasan, I Gusti Meranggi, I Gusti Sayan, I Gusti Bedulu, I Gusti Nunung, I Gusti Kandel, dan I Gusti Kutri. Kemudian ada juga yang bertempat tinggal di Kembengan, yakni I Gusti Tegal, I Gusti Sukawati, I Gusti Arak Api, I Gusti Julingan putra I Gusti Kandel, I Gusti Kembengan, I Gusti Manggis, I Gusti Pelagaan. Juga masing ? masing membangun Pamerajan. Ada lagu yang mengungsi ke wilayah Siut, bernama I Gusti Nyoman Natih, putranya berdiam di Banjar Bias, ada di Karang Dadi serta di Gerombongan. Demkian dahulu. Kembali diceritakan kedatangan Ida Kyai Naglurah Pinatih di hadapan Dalem kemudian mempermaklumkan prihal kedatangan Cokorda Panji dari Nyalian. Ida Dalem berkata bahwa tidak sekali ? kali memrintahkan Kyai Anglurah Agung Pinatih agar datang menghadap, sehingga disimpulkan bahwa hal itu merupakan tipu muslihat Cokorda Panji, agar Kyai Anglurah Agung Pinatih meninggalkan wilayah uruk Mangandang. Lama beliau berdiam, berpikir, dan mungkin sudah ada dalam pikiran beliau, dan agar tidak menjdai bibit yang tidak baik, agar tetap bhakti masing ? masing sejak dahulu kala. Sejak berkuasanya leluhur Dalem dahulu ? sejak pemerintahan Ida Dalem Kresna Kepakisa, Kriyan Pinatih memang disayang di Puri menjadi demung. Kemudian Ida dalem berkeinginan memnuhi keinginan kedua belah pihak : Cokorda Panji ingin memperluas wilayahnya agar memperoleh rahayu; Kyai Pinatih juga agar tetap bhaktinya seperti yang dilakukan para leluhrunya yakni para Kriyan Pinatih yang sudah wafat, juga agar mendapatkan keselamatan. Kyai Anglurah Pinatih kemudian diminta untuk sementara tinggal di Puri Agung, tidak diperkenankan kembali ke Tulikup, diminta untuk mendampingi beliau Ida Dalem. Diceritakan tidak lama Cokorda Nyalian memegang wilayah Tulikup kemudian diserang oleh raja Gianyar. Demikian dahulu. Diberi Tempat Di Bukit Mekar Menjadi Desa Sulang Singkat ceritera, Ida Dalem mengdakan utusan untuk mencari tempat tinggal bagi Kyai Pinatih, di perbatasan wilayah Klungkung dan Karangasem bernama Bukit Mekar. Walaupun tempat itu sempit, atas perintah Dalem, Ida I Gusti Anglurah Agung Pinatih Rsi kemudian bertempat tinggal disana diiringi oleh putra sanak saudara. Rakyat semuanya mengiringi. Tempat itu kemudian diberi nama desa Sulang. Sedangkan di Bukit Mekar, beliau pertama kali mengukur tempat untuk Pamerajan, tempat Puri, mengukur tempat untuk Kahyangan Tiga serta tempat kuburan dan rumah tempat tinggal rakyatnya semua. Setelah sesak di Bukit Mekar, diberikan lagi tempat di perbatasan Klungkung dan Karangasem yang bernama Tegal Ening, dekat dengan desa Lebu Cegeng di tepi Sungai Unda yang sudah dikuasai I Gusti Dauh Talibeng. Disana rakyat Kriyan Pinatih ada 43 sebagian membangun rumah serta panyungsungan Puseh Bale Agung, wilayah itu kemudian dinamai Banjar Mincidan. Penuh sesak di banjar Mincidan, kemudian diberi tempat lagi di tepi Sungai Unda yang bernama Tegal Genuk, yang kemudian diberi nama Banjar Gerombongan. Dari Banjar Gerombongan, karena sesak diberikan tempat di perbatasan Semara Pura tepi selatan, tempat warga Pande yang diajak dari Madura, tempat itu bernama Banjar Galiran. Dari Banjar Galiran, karena sesak, yang diberikan lagi tempat di Kusamba, dekat dengan Banjar Sangging, kemudian ada yang berada di pesisir pantai Kusamba yang bernama Karang Dadi. Kemudian ada diceritakan para putra Ki Arya Bang Pinatih yang kemudian mengikuti penuanya. Berkeinginan untuk menghadap ke Puri Dalem lalu berdiam di Banjarangkan, serta mmembuat panyawangan kawitan diberi nama Pura Lung Atad. Kemudian ada yang beralih mencari tempat di tempat Sungai Bubuh bernama tempat itu Basang Alu, membangun Pamerajan diberi nama menurut nama masing - masing. Pura di Lung Atad dituntun ke Basang Alu, berganti naman menjadi Pura Sari Bang. Diceritakan lagi I Gusti Jimbaran pindah dari Tulikup menuju desa Getakan, berdiam disana disayang oleh Cokorda Bakas. Inggih demikian hentikan dahulu keadaan para putra yang terpencar tempat tinggalnya. Kyai Anglurah Made Sakti Di Jenggala Bija Diceritakan sekarang Kyai Anglurah Made Sakti, tidak mengikuti kakaknya, berpindah tempat dari desa Tulikup menuju Jenggalabija diiringi oleh rakyat lengkap dengan bawaannya. Jenggala Bija itu dekat dengan tempat kediaman I Dewa Karang yang dipakai menantu di wilayah Mambal. Kyai Anglurah Made Sakti sudah memiliki Puri di Jenggalabija, sampai kepada rakyatnya sudah memiliki perumahan sesuai dengan keadaan pedesaan yang sudah ada. Kyai Ngurah Made Sakti benar - benar bijak memegang kekuasaan, beliau ahli dalam sastra, serta senang melaksanakan dewaseraya berbhakti kepada Ida Hyang Widhi dan Bhatara semua. Ppada saat itu ada anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi pada hari Selasa Kliwon - Anggara Kasih, bulan Bali yang kesembilan - Kesanga di tengah malam, Kyai Ngurah Made melakukan upaacara persembahyangan di hutan ladang Bun, di sebelah timur Desa Pengumpian. Sesudah sampai di tepi hutan itu, dilihat ada asap tegak berdiri putih seakan - akan sampai di angkasa. Tempat itu kemudian dicari oleh Kyai Ngurah Made, sesampai di tempat itu, layaknya sebagai bun - pohon merambat dilihat oleh beliau asap yang berdiri tegak itu, seperti aneh rasanya dan juga menakutkan. Ketika hilang asap itu, kembali perasaan beliau Ida Kyai Anglurah Made Sakti seperti sediakala, kemudian menaiki timbunan bun itu. Sesudah sampai di puncak, kira - kira ada 80 depa, kemudian ada sabda terdengar dari angkasa : “Nah, dengarkanlah sabdaku ini! Segera bersihkan hutan bun ini, kemudian pakai desa maupun perumahan. Sejak sekarang Kyai Ngelurah Pinatih Made menjadi Kyai Ngelurah Pinatih Bun, sampai keturunanmu kelak di kemudian hari menjadi warga Bun. Setelah selesai mendengar sabda dari angkasa itu, kemudian Ida Kyai Ngurah Made turun. 44 Setelah sampai di tanah kemudian beliau berkeinginan untuk membari tanda tempat itu denga kapur - diberikan tanda silang - tapak dara, sebagai tanda, kemudian beliau pulang ke Puri. Pada pagi harinya sampailah kemudian di Puri beliau di tegal Bija, kemudian memberitahukan kepada perbekel serta rakyat semuanya. Setelah semua rakyat berdatangan menghadap, kemudian I Gusti Ngurah Made berkata : “Nah Paman semuanya, saya sekarang memerintahkan paman semuanya untuk merabas hutan bun itu, saya akan membangun desa serta perumahan”. Rakyat semuanya menyambut dengan perasaan senang hati, menuruti keinginan I Gusti Ngurah Made, semuanya lengkap membawa alat akan merabas Alas Bun itu. Setelah semua bersih hutan itu dirabas, ketika matahari sudah berada di atas kepala, rakyat semua beristirahat dan mengambil makanan untuk rakyat Bija itu di Pasar Pangumpian, kemudian tiba di Bancingah Pangumpian seraya membuang sampah. Disana dibuang sampah itu oleh rakyat Bija. Setiap hari demikian tingkah rakyat Bija di Pasar Pangumpian. Kemudian ada orang melaporkan permasalahan itu kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, prihal tingkah rakyat pendatang itu merabas hutan. Karena itu merasa marah besar I Gusti Ngurah Pangumpian karena tidak ada pemberitahuan kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, sebab itu dilarang rakyat pendatang itu merabas hutan Bun itu, karena tidak patut perbuatan rakyat Bija itu, apalagi membuang sampah sembarangan di Bancingah Pangumpian, kemudian dihentikan dengan senjata. Sesudah itu kemudian I Gusti Ngurah Pangumpian mengumpat mereka sampai kepada Gusti mereka, karena itu segera didengar olah rakyat Bija, sehingga kacau di Pasar Pangumpian apalagi diimbuhi dengan tantangan terhadap Gustinya. Itu sebabnya menjadi marah I Gusti Ngurah Made kemudian memerintahkan putranya untuk melaksanakan perbuatan sebagai seorang Ksatria. Saat itu I Gusti Putu Bija sebagai putranya mengikuti ayahnya bersama rakyat semuanya, membawa senjata bersorak sorai semua. Dipimpin oleh sang ayah, kemudian masuk ke Puri Pangumpian. Sangat ramailah perang disana, saling tusuk, saling penggal, itu sebabnya banyak yang mati, sungguh riuh sekali perang antara Bija lawan Pangumpian. Banyak yang mati dan banyak yang luka. Saat itulah kemudian bertemu berperang tanding I Gusti Ngurah Made lawan I Gusti Ngurah Pangumpian, kemudian kalah I Gusti Ngurah Pangumpian dan kemudian meninggal. Sejak itu orang - orang di Pangumpian kalah kemudian ada yang pergi berpencar mencari tempat, ada yang mengungsi ke pegunungan. Ada yang ke arah selatan ke Desa Kesiman, ada di Suwung, di Wimba serta Blumbungan, Kapal. Demikian kesaktian Kyai Anglurah Made, itulah sebabnya kemudian beliau diberi gelar I Gusti Anglurah Sakti Bija. Hentikan dahulu ceritera di Bun Pangumpian. Diceritakan sekarang yang memegang kekuasaan di wilayah Mengwi yang bernama I Gusti Made Agung Alangkajeng serta bergelar Cokorda Agung Made Bana, beserta adiknya I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng serta I Dewa Karang di Mambal, menanyakan prihal 45 peperangan itu. Kyai Anglurah Bun kemudian mengatakan prihal mendapatkan anugerah dari Hyang Maha Kuasa. Berkata Cokorda : “Nah kalau begitu, Dinda Ngurah Bun yang memang benar. Serta Ngurah beserta rakyat patut beralih tempat dari Jenggala Bija berkumpul di Desa Bun. Agar sesuai dengan nama wilayah”.
Diceritakan sekarang yang menjadi pendeta bernama Ida Peranda Wayan Abian mempunyai putra bernama Ida Wayan Abian. Adiknya bernama Ida Ktut Abian, dipakai ipar serta menantu oleh Kyai Ngurah Bun. Itu sebabnya beliau berdiam di wilayah Bun, serta juga berganti nama menjadi warga Bun. Beliau kemudian dijadikan Cudamani oleh Ki Arya Bun serta juga Ki Arya Bija, demikian kesimpulan pertemuan di Geria Sanur. Kemudian juga I Gusti Ngurah Made Bija dapat berdiam di Desa Beranjingan, mendapatkan rakyat 300 orang disampingi oleh menantunya yang bernama Ida Ktut Ngurah. Diceritakan I Gusti Putu Bija di Beranjingan diiringi oleh para putranya semua membuat senjata 40. Senjata itu kemudian diberi nama Dolo dan Beranjingan, semua senjata itu bertatahkan mas, kemudian dipergunakan sebagai alat upacara di pura - pura serta dipakai peringatan di kelak kemudian hari. Ada juga terlahir dari warga Beranjingan, bernama I Gusti Ngurah Gde Bija, adiknya bernama I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan, I Gusti Ngurah Anom Lengar, serta terakhir bernama I Gusti Ketut Bija Tangkeng itu semua lahir dari Puri Beranjingan, diamping ada yang wanita. Dikisahkan I Gusti Putu Bija yang bertempat tinggal di Beranjingan, disusupi oleh loba - tamak, moha hatinya, itu sebabnya berani kepada ayahandanya Kyai Ngurah Made Bija Bun, sehingga tidak ingat lagi bersaudara maupun berayah. Itu sebabnya bertentangan Beranjingan dengan warga Bun. Muncul kesal hati Ida Kyai Ngurah Bun untuk berbicara dengan putranya yang ada Puri Beranjingan, karena anaknya itu merasa diri pintar, tidak lagi peduli pada kelebihan orang lain. Karena itu, menjadi marah Kyai Ngurah Made Bun, kemudian melakukan perbincangan dengan putranya yang lain seperti I Gusti Ngurah Made Bija Bun, I Gusti Anom Bija, I Gusti Ngurah Teja, I Gusti Ngurah Alit Padang, agar merebut saudaranya yang ada di Beranjingan. Itu sebabnya menjadi galak rakyat Bun, kemudian didatangi Desa Beranjingan itu oleh pasukan Bun serta dikejar, diburu, karenanya menjadi kacau di daerah Beranjingan, semua keluar membawa alat senjata, semuanya berani menunjukkan keperwiraannya. Disanalah kemudian terjadi perang yang dahsyat, saling tusuk, saling bunuh, dan banyak mati rakyat Beranjingan oleh rakyat Bun. Menyaksikan demikian halnya, sangat marah I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan, akan bersedia mati dalam pertempuran bersama para putra serta isteri semuanya bermaksud untuk menghilangkan jiwanya, dan semuanya mengenakan busana serba putih, sedia akan mati di medan laga. Karena sudah demikian tekad I Gusti Ngurah Beranjingan, menjadi gentar juga rakyat Bun, 46 serta para putra semuanya, kemudian segera ayahandanya mempergunakan Aji Pregolan, berdiri di depan pinti Puri. Karena kesaktian Kyai Ngurah Made Bun, menjadilah I Gusti Ngurah Beranjingan gentar melihat prabawa ayahnya, takut, tidak berani lagi menentang, sampai dengan rakyat Beranjingan semua, lalu semuanya lari tunggang langgang besar kecil mengungsi serentak menyembunyikan diri menuju desa Srijati di Sibang, kemudian berdiam di Desa Darmasaba, serta menghamba kepada I Gusti Agung Kamasan beserta seluruh rakyatnya, penuh sesak disana di Darmasaba. Dengan demikian I Gusti Ngurah Putu Bija? Beranjingan batal meninggal di medan perang tempat itu kemudian dinamai Jagapati. Sesudah lama berdiam disana, kemudian semua para putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan berpencar. Putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan masing - masing adalah I Gusti Ngurah Beranjingan membangun Puri di Banjar Bantas, adiknya I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan mengungsi ke Desa Tingas disertai rakyat 60 KK. I Gusti Ngurah Ketut Bija Tangkeng serta I Gusti Ngurah Anom Lengar, mencari tempat di Moncos diiringi rakyat 60 KK, I Gusti Ketut Rangkeng mencari tempat di Desa Kekeran. Belakangan I Gusti Anom Lengar mengambil isteri dari Dalung, itu sebabnya bolak - balik tempat tinggalnya, kemudian ada putra 3 orang, yang sulung bernama I Gusti Putu Bija, adiknya I Gusti Bija Lekong, yang paling kecil I Gusti Bija Leking, I Gusti Anom Lengar berdiam kemudian di Dalung, akhirnya kemudian di Taman Padangkasa, bersama anaknya I Gusti Leking. Dikisahkan I Gusti Bija Lekong mengungsi ke wilayah Kuta. Sesudah lama di Kuta banyak sekali puteranya, ada yang mengungsi ke Jembrana I Gusti Putu menuju wilayah Kaba - Kaba kemudian ke Lodsawah. Kembali diceritakan Kyai Ngurah Made Bija Bun sudah lega hatinya memperoleh kewibawaan di Desa Bun, tidak ada yang membantah perintah beliau, karena sudah juga bermitra dengan Cokorda yang menguasai wilayah Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana. Lama kemudian meninggal penguasa Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana, digantikan oleh adiknya I Gusti Nyoman Langkajeng yang bergelar Cokorda Munggu. Cokorda Munggu mempunyai putra I Gusti Agung Mayun serta I Gusti Agung Made Munggu. I Gusti Agung Mayun menggantikan ayahnya bergelar Cokorda Mayun. Demikian dahulu keadaan di Mengwi. Puri Bun Diserang Oleh Mengwi Diceritakan sekarang, tidak bagitu lama keadaan ini aman, kemudian tiba masa Kalisengsara - kekacauan, dan ternyata marah besar Ida Cokorda Maun di Mengwi berkehendak menyerang I Dewa Karang yang ada di Puri Mambal. Karena demikian didengar oleh I Dewa Karang, beliau berbincang dengan ipar beliau di Puri Bun. Setelah selesai bertukar pikiran, maka kembali pulang dengan tidak merasa sak wasangka lagi. Singkat ceritera, pasukan Mengwi sudah datang menyebabkan penuh sesak mengitari. Puri Mambal sudah dipenuhi oleh para putra Mengwi, dipimpin oleh Cokorda Mayun. Setelah dikelilingi puri Mambal itu, sangat duka hati I Dewa Karang, kemudian
47
keluar ke depan Puri itu. Yang sebenarnya diandalkan oleh Puri Mengwi hanyalah pasukan Bun. Dan teryata yang mengitari Puri I Dewa Karang juga? hanya pasukan Bun. Karena itu I Dewa Karang dapat disembunyikan oelh pasukan Bun di tengah - tengah mereka. Menjadi takjub ppasukan Mengwi, heran dengan kesaktian I Dewa Karang yang hilang tidak ada di puri, karena sudah diungsikan - diamankan oleh pasukan Bun. Itu sebabnya pulanglah pasukan Mengwi tanpa hasil. I Dewa Karang kemudian mencari saudaranya yang berdiam di Banjar Tegal wilayah Tegalalang yang bernama I Dewa Bata. Sesudah lama, tahulah Ida Cokorda Mayun akan tipu muslihat I Gusti Ngurah Made Bun, yang menyebabkan hilangnya I Dewa Karang karena diapaki menantu oleh Anglurah Bun. Penguasa Mengwi kemudian menyuarakan kentongan agung, serta kemudian berangkat Cokorda Mayun beserta balanya semua, akan merusak dan merebut Kyai Naglurah Bun. Bila saja berani dalam medan perang, akan dihabiskan sampai anak cucu Anglurah Bun. Singkat ceritera, pasukan Mengwi semuanya sudah berangkat menuju puri Bun. Sesampainya di Bancingan Puri Bun, kaget Kyai Ngerurah kemudian memukul kentongan bertalu - talu, serentak rakyatnya semua laki maupun perempuan membawa senjata. Disana kemudian berkecamuklah perang itu, saling amuk, setapakpun tidak mundur, bersorak saling ejek, saling tantang, saling tusuk, saling penggal, saling banting, sama - sama tidak mengenal mana kawan mana lawan, sehingga kemudian peperangan itu sampai ke Puri Bun. Tak dinyana kemudian Cokorda Mayun, sebagai pucuk pimpinan pasukan Mengwi wafat, dapat ditusuk oleh Kyai Nglurah Bun. Serta kalahlah pasukan Mengwi. Jenazah Cokorda Mayun, diceritakan masih di Bun. Kemudian banyak rakyat Mengwi yang masih hidup, kembali ke Mengwi, ada yang langsung menghadap I Gusti Agung Made Munggu, adik Ida Cokorda Mayun yang wafat di Bun. Itu sebabnya murka I Gusti Agung Made Munggu, seraya memerintahkan semua anggota keluarganya untuk menyerang Anglurah Bun. Kemudian berangkat bala pasukan Mengwi dari Munggu dan Mengwi seraya membawa senjata. Di Lambing para putra Mengwi mengadakan pembicaraan. Kesimpulan pembicaraan itu, pasukan akan dibagi dua. Dari barat, sebagai pimpinan pasukan I Gusti Agung Made Kamasan dari Sibang serta I Gusti Agung Jlantik dari Penarungan, serta dari utara, bala pasukan disana mengiringi I Gusti Agung Made Munggu. Dari Taensiat Ke Nagari Singkat ceritera Kyai Ngurah Bun Pinatih sudah mendengar rencana balas dendam dari Puri Mengwi, jelas akan mendatangkan bala pasukan dalam jumlah yang besar. Kalau dihadapi jelas akan kalah. Kemudian beliau berpikir untuk tidak melawan, serta bersiap untuk meninggalkan puri, mengungsi ke wilayah Badung, bersama dengan anak cucu, besar kecil, serta rakyat semuanya, dengan mengusung Bhatara Kawitan semuanya seperti Siwapakaranaan serta pusaka I Keboraja beserta I Baru Upas. 48
Setibanya di Badung kemudian menuju Taensiat, rakyat beliau ditempatkan di Banjar Bun serta Banjar Ambengan. Ada yang beralih menuju Angayabaya, Jagapati, Angantaka, Sibang, Paguyangan. Ada yang mengungsi ke wilayah Pagutan, Negara, Pagesangan, Tamesi. Ada ke Tagtag Negara, Pangrebongan bersama I Gusti Tangeb, I Gusti Meranggi. I Gusti Meranggi pindah ke wilayah Sarimertha. Demikian ceritanya dahulu. Diceritakan sekarang di Puri Bun, karena semua penduduk disana mengungsi ke wilayah Badung, maka keadaan disana menjadi sunyi, tak ada seorangpun kelihatan lewat. Setibanya pasukan Mengwi ditempat itu, maka dilakukan penyerobotan, dijarah semua milik Puri Bun serta milik rakyat disana. Sisa penjarahan adalah purinya, wantilan, merajan, pura, dan juga ada perumahan rakyat, semuanya dibakar habis diratakan sama sekali. Jenazah Cokorda Agung Mayun yang meninggal dan tertinggal di Puri Bun kemudian diambil dibawa pulang ke Mengwi. Kembali diceritakan I Gusti Ngurah Bun di taensiat, para putra beliau sekarang ada yang pindah ke desa - desa lainnya, seraya memohon diri kepada ayahnya, seperti I Gusti Bun Sayoga ke Sigaran Mambal, I Gusti Ngurah Alit Padang mengungsi ke Karangasem, bertempat tinggal di Padangkertha. I Gusti Ngurah Teja mengungsi ke Denbukit. Ada putranya 3 orang, yang sulung I Gusti Teja - namanya sama dengan ayahnya, di Dawan Banjar, I Gusti demung menuju Timbul, Sukawati. Ayahnya I Gusti Ngurah Bun kemudian berpuri di Taensiat. Demikian dahulu. Diceritakan I Dewa Karang berpuri di Banjar Tegal, beliau senang melakukan persembahyangan, disana di Dalem Pamuwusan namanya. Kemudian ada anugerah Ida Sang Hyang Widhi, beliau mendapatkan anugerah senjata dua buah. Itu sebabnya sangat suka cita I Dewa Karang, sangat percaya diri di hatinya. Karena itu beliau bermaksud untuk mencari I Gusti Ngurah Made Bun di Puri Taensiat, agar turut serta berpuri di Banjar Tegal. Singkat ceritera, sangat senang hati I Gusti Ngurah Made Bun, demikian juga I Dewa Karang kemudian berjalan diiringi rakyatnya semua dengan membawa perlengkapan menuju Alas Kawos, namun putranya yang bernama I Gusti Ngurah Putu Wija diangkat atau kadharma putra oleh Kyai Pamecutan. Kemudian diceriterakan I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun bersama tempat tinggalnya kemudian menuju desa Kengetan. Diceritakan I Gusti Wirya yang bertempat tinggal di Kengetan, dan juga di desa Singakertha, ditantang oleh I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun untuk berperang tanding. Akhirnya seperti keder hati I Gusti Wirya di Kengetan, kemudian beralih tempat semuanya serentak membawa perlengkapan di saat malam menuju desa Sigaran terus ke Melanjung. Sejak itu kemudian desa Kengetan, Jukutpaku, serta Singakertha dikuasain oleh I Dewa Kaarang. Karena keberhasilan itu, kemudian I Dewa Karang beserta I Gusti Ngurah Made Bun membuat puri di Karang Tepesan sampai kepada rakyatnya semua. Entah berapa masa sudah berpuri disana, ada usulan dari I Gusti Ngurah Made Bun agar membangun Puri yang baik dan indah, sebab keadaan sudah membaik, terus dinamai wilayah Negara. I? Gusti Ngurah Made Bun membangun puri dinamai Puri Negari. I Dewa Karang mempunyai janji dengan I Gusti Ngurah Made Bun agar bersuka duka berdua, dan semoga terus sampai ke keturunannya nantinya. Demikian inti perbincangan I 49 Dewa Karang serta I Gusti Ngurah Made Bun, semuanya merasa suka cita. Diceritakan Ida Peranda Nyoman Padangrata yang pernah menjadi pendeta atau Bagawantah Ida Ngurah Bun sudah berpindah dari wilayah Bun, diikuti oleh putra serta isteri menuju desa Kutri, sewilayah dengan Negara. Banyak rakyat I Dewa Karang ada di Kutris diberikan kepada Ida Peranda. Demikian halnya di masa lalu, dicantumkan dalam pariagem. Dilanjutkan sekarang purtra I Gusti Ngurah Made Bun di Negari semua sudah diandalkan oleh I Dewa Karang yang berkuasa di Negara. Putra I Gusti Ngurah Made Bun yang paling sulung bernama I Gusti Ngurah Gde Bun atau I Gusti Ngurah Mawang berpuri di Negari, I Gusti Anom Angkrah di Banjar Tunon, I Gusti Ketut Alit Bija bertempat tinggal di Kutri, I Gusti Ngurah Tangeb mmasih di Mawang, serta wanita I Gusti Ayu Oka juga di Negari. Semuanya memiliki jiwa keperwiraan masing - masing. Demikian keadaannya. Diceritakan sekarang yang menjadi penguasa wilayah Gianyar bernama Ida I Dewa Manggis, memberi perintah kepada I Dewa Karang agar para putra Anglurah Bun Pinatih menjadi pengokoh wilayah Gianyar, paling utama mengawasi Tegal Pangrebongan. Kesimpulan perbincangan itu agar putra Ngurah Bun yang bernama I Gusti Ngurah Tangeb, yang memamng keturunan Pinatih, itu yang mengawasi di Pangrebongan, diberikan rakyat 200 orang. Demikian dicatat di Pariagem. Juga diceritakan Ida Bang Pinatih memiliki keturunan yang bernama mangurah Guwa dan Mangurah campida. Keduanya, ketika masa kerajaan Gelgel atau Sweca Linggarsa Pura, ada di lingkunga Ida Dalem. Namun ketika masa pemberontakan I Gusti Agung Maruti, terjadi huru - hara, maka sanak keturunan beliau berdua meninggalkan Gelgel, ke arah timur perjalanannya, serta kemudaian berdiam di desa Gunaksa. Disana membangun kahyangan dinamai Pura Guwa. Tujuannya agar diketahui oleh keturunannya sebagai keturunan Mangurah Guwa. Demikian tercatat dalam prasasti, tentang keadaan Sira Mangurah Guwa. Diceritakan pula di kemudian hari mendapatkan panjang umur keturunan Mangurah Guwa, ada yang pindah ke desa Timhun, sanak saudara yang lain menuju desa Aan. Ada juga yang meninggalkan desa Gunaksa yang menuju desa Akah, Pagubungan Manduang serta Nusa Penida. Demikian kisahnya Mangurah Guwa dan Mangurah Campida. Dan demikian pula kisah tentang keberadaan sanak keturunan Ida wang Bang Banyak wide yang kemudian menjadi warga Arya Wang Bang Pinatih di seluruh pelosok Pula Bali. T A M A T
Karena demikian kata I Dukuh, menjadi marah Kyai Anglurah Pinatih, serta berkata : ?Uduh Kaki Dukuh, seberapa besar karya yang Ki Dukuh sudah buat sehingga bisa mengatakan akan moksa ?. Saya saja yang begini, menjadi penguasa, banyak memiliki rakyat, kokoh membangun kebaikan, tidak bisa melakukan moksa. Sekarang kalau benar seperti yang dikatakan Dukuh yakni akan pulang ke dunia sana dengan moksa, saya akan berhenti menjadi penguasa di negara Badung?.
Baru saja demikian kata Kyai Anglurah Pinatih, segera Ki Dukuh berkata : “Aum Kyai Anglurah Agung Pinatih, sebagai ratuning Jagat Kerthalangu, janganlah I ratu berkata demikian kepada hamba !. Memang benar hamba bisa moksa, ini simsim hamba bawa agar tuanku tidak kabjrawisa !” ?Ah masa aku kurang apa. Sekarang kapan sira Dukuh akan melakukan moksah ??. menjawab sira Dukuh : ?Inggih, pada hari besok hamba akan pulang moksa, pada saat sang Surya tepat? diatas kepala?. Demikian atur sira Dukuh.
Karena sudah pasti janji I Dukuh akan moksa, kemudian Kyai Anglurah Agung Pinatih memberitahukan kepada para bala dan menterinya semua agar mengawasi di rumah Ki Dukuh, serta agar membawa tongkat, kalau ? kalau sira Dukuh dengan tongkat itu. Demikian perintah Ida Kyai Aglurah Agung Pinatih kepada rakyatnya semua. Pada keesokan harinya, semua bersiap, bala pasukan serta para menteri menuju tempat kediaman sira Dukuh. Sesampainya disana dilihat sira Dukuh sedang menggelar yoga samadhi, menghadapi pedupaan. Sesudah masak betul yoganya, kemudian Ki Dukuh menyampaikan sapa kutukan bagi Kyai Anglurah Agung Pinatih : ?Inggih Kyai Anglurah Agung Pinatih, ratuning wilayah Kerthalangu, Jhah Tasmat ? semoga Kyai Anglurah Pinatih dirusak semut !?. Sesudah menyampaikan sapa kutukan itu, Ki Dukuh masuk ke pedupaan besar itu, lepas, hilang tidak kelihatan lagi Ki Dukuh. Memang benar Ki Dukuh moksa tidak kembali lagi. Inggih hentikan dahulu sampai disini. Sesudah itu, merasa kagum takjub rakyat Kyai Anglurah Agung Pinatih, memang benar Ki Dukuh moksa, kemudian disampaikannnya kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih prihalnya sira Dukuh. Saat itu Kyai Anglurah Agung Pinatih berdiam diri, berpikir dalam hatinya, terlanjur mengeluarkan kata ? kata tidak baik. Kyai Pinatih Berpindah Tempat Dari Kerthalangu
Sesudah satu bulan tujuh hari lamanya, datanglah ciri Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi didatangi semut tak terhitung banyaknya merebut, ada dari bawah, dari atas, jatuh berkelompok ? kelompok. Itu sebabnya merasa gundah hati Kyai Anglurah Agung Pinatih beserta para isteri, putra, cucu semuanya. Karena demikian keadaannya, kemudian diadakan pertemuan dengan sanak saudara semuanya, berencana akan berpindah dari Purian, menuju Pura Dalem Paninjoan. Sesampainya disana, kemudian diberitahukan semua rakyatnya untuk membuat Taman dikitari dengan telaga, telaga itu dikelilingi api, ditengahnya telaga barulah dibangun tempat peraduan. Namun masih saja dicari, direbut oleh semut, berbukit ? bukit tingginya kemudian jatuh di tengahnya taman itu. Karena itu halnya, kembali Kyai Agung Pinatih menyelenggarakan pertemuan, bertukar pikiran dengan saudaranya semua serta didampingi oleh rakyatnya. Semuanya merasa masgul, kemudian meninggalkan Pura Dalem Paninjoan, berpindah lalu berdiam diri di sebelah timur sungai, diiringi rakyatnya semua. Tentu saja Kyai Anglurah Agung Pinatih berpikir tentang kedigjayaan sira Dukuh. Kemudian beliau merencanakan akan berpindah dari tempat itu, serta diberitahukan kepada balanya, siapa yang sanggup menjaga Pura Dalem itu, boleh tidak mengiringkan Kyai Anglurah Pinatih. Kemudian segera matur anggota masyarakat beliau yang bernama Ki Bali Hamed, ia akan menuruti kehendak beliau untuk menjaga Pura? Dalem itu. Pada saat itu I Gusti Tembawu menyatakan tidak bisa mengikuti keinginan ayahandanya, demikian juga I Gusti Ngurah Kepandeyan, yang pernah berpaman dengan I Dukuh, dan karena memang tidak baik dalam hubungan bersanak saudara, karena sudah terlanjur bertempat tinggal disana serta memperoleh kebaikan di wilayah Intaran. Usai sudah perbincangan diadakan, kemudian diputuskan hubungan pasidikaraan dengan I Gusti Tembawu dan I Gusti Kepandeyan. Disebabkan karena masih juga diburu oleh semut, kembali beliau beralih tempat bersama menuju Geria milik Ida Peranda Gde Bendesa dan di tempat tinggal Ida Peranda Gde Wayan Abian, seperti para putranya semua, yang ada di Kerthalangu, ke Padanggalak, disana Kyai Anglurah Agung Pinatih bertempat tinggal diiringi rakyatnya semua. Penuh sesak disana di pinggir sungai Biaung, disana Kyai Anglurah Agung Pinatih menghaturkan rakyat 60 KK kepada Ida Peranda berdua. Ida Peranda berdua merasa senang hati mendapatkan warga itu semua yang handal didapatkan oleh beliau Ida Peranda, yang bernama Ki Bendesa Kayu Putih, Macan Gading, I Pasek Kayu Selem, semua bertempat tinggal di Tangtu. Di sana kemudian ada perjanjian Kyai Anglurah Agung Pinatih di hadapan Ida Peranda berdua, menyatakan sudah putus hubungan kekeluargaan dengan I Gusti Tembawu, sebab sudah berumah di I mangku Dalem Tembawu. Karena demikian yang didengar oleh I Mangku Dalem Tembawu lalu dibalaslah pernyataan Kyai Anglurah Agung Pinatih. Katanya : ?Mudah ? mudahanlah yang membawa pusaka keris yang bernama I Brahmana serta tumbak yang bernama I Baru Gudug, pada saat menyelenggarakan upacara ala ataukah ayu, jika tidak ada I wong Tembawu, mudah ? mudahan tidak berhasil upacara itu?. Dibalaslah oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih : ?Mudah ? mudahab I wong Tembawu itu kaya dengan pekerjaan?. Demikian pernyataan Kyai Anglurah Agung pinatih. Kemudian I Gusti Tembawu dipakai menantu oleh I Mangku Dalem Tembawu. Setelah itu Kyai Anglurah Agung Pinatih disertai oleh adiknya serta sanak saudaranya semua memohon kepada Ida Peranda berdua, akan membangun Panyiwian di ujung desa Biaung, dinamai Pura Dalem Bangun Sakti, disungsung oleh rakyatnya yang ada si Biaung. Ida Peranda berdua dengan senang hati memberikan restu untuk hal itu. Disana kemudian Ida Peranda berdua berdiam membuat Pura Dalem Kadewatan, Puser Tasik Batur dan Kentel Gumi, untuk wilayah Padanggalak. Hentikan dahulu. Diceritakan kembali setelah beberapa lama Kyai Anglurah Agung Pinatih bertempat tinggal di Padanggalak, kembali direbut semut. Karena itu kembali beliau berpindah tempat menuju Alas Intaran ? Mimba semuanya. Tidak berapa lama disana, ada lagi cobaan dari Yang Maha Kuasa, ada ikan Aju datang dari tengahnya laut, semuanya terhempas ke pantai tidak terbilang banyaknya. Itu sebabnya kemudian orang di Intaran segera membuat tembok dengan pohon pepaya, diperintahkan oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih. Memang merupakan cobaan dari Hyang Widhi, tembok itu ditubruk oleh ikan itu dihempas ? hempas? hingga rusak, itu sebabnya banyak bangkai ikan di tepi pantai sampai ke tengah hutan. Kemudian datanglah semut merebut bangkai ikan itu. Semakin banyak semut itu datang, serta ikan itu berulat, baunya sangat busuk. Itu sebabnya menjadi gundah orang disana, dan kelak kemudian hari tempat itu dinamai Ajumenang. Karena semuanya merasa gundah, merasa tidak tahan dengan bau ikan yang sangat busuk itu, banyak anggota masyarakat yang ada di Intaran berpindah kesana kemari mencari perladangan. Ada yang mencari tempat di Kepisah, ada di Pedungan, di Tegal, di Glogor Carik, di Seminyak, memohon diri kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih. Karena demikian keadaannya, semakin masygul hati Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi, serta menyesali diri, karena sudah terlanjur menyampaikan pernyataan tidak baik, tidak boleh berkata sumbar, sangat berbahaya dikatakan, dan hal itu sudah menjadi bukti, buahnya dipetik sekarang. Singkat ceritera, Kyai Anglurah Agung Pinatih, kemudian memohon diri kepada Ida Peranda berdua, akan beralih tempat ke wilayah Blahbatuh, semuanya dengan rakyatnya. Bagaikan bibit pepohonan yang besar yang ditimpa panas membara serta angin ribut rasanya, karena itu berpencar para putranya, juga saudaranya I Gusti Ngurah Anom Bang yang dipakai menantu oleh Ki Karang Buncing di Blahbatuh. Sejak saat itu putus pula hubungan pasidikara. I Gusti Blangsinga, pergi tanpa tujuan seraya membawa pusaka. Entah berapa lama berdiam di Blahbatuh, kembali ada semut yang datang, kembali beralih tempat dari sana menuju desa Kapal. Di Kapal, karena tempat disana sempit untuk banyak orang, sehingga bisa berjejal disana, maka Kyai Anglurah Agung Pinatih mengutus I Gusti Tembuku, I Gusti Putu Pahang serta I Gusti Jumpahi, untuk mencari tempat, yang kemudian pergi menuju ke arah timur, ditemuilah hutan perladangan yang cukup luas bernama Huruk Mangandang juga disebut Pucung bolong. Disebelah utaranya adalah wilayah Dewa Gede Oka dari Tama Bali dan sebelah timurnya adalah sungai Melangit namanya. Prihal tempat itu dipermaklumkan kepada I Gusti Ngurah Agung, kemudian dilanjutkan gotong royong membersihkan hutan tersebut. Dalam perjalanan merabas hutan ada tempat ditemukan salah satu yang agak angker, lalu ditempat tersebut dibangun tempat persembahyangan sekarang bernama Pura Dalem Agung, yang merupakan sungsungan Desa Adat.
Pada Utama Mandala? ada Pelinggih berjejer menghadap kebarat paling Utara disebut Pelinggih Dalem Muku, Dalem Pande dan Dalem Dura. Kemudian melanjutkan perjalanan keutara lalu menetap dan membangun tempat tinggal atau Puri termasuk juga membangun Tempat Suci atau Parhyangan, sebagai tempat untuk memegang wilayah dan parhyangan Sthana Ida Bhatara Kawitan. Tempat Pemujaan dulu bernama Pemerajan Agung Pinatih dan sekarang bernama ? Pura penataran Agung Pinatih? di puri Tulikup, yang merupakan tempat tonggak sejarah yang harus diingat oleh seluruh warga besar Arya Wang Bang Pinatih. Disamping itu Pura Penataran Agung Pinatih menjadi satu dengan Dang Kahyangan Pura Sakti pada Utama Mandala termasuk Pemedel Ageng juga satu. Sehingga menetap di Puri Tulikup bersama keluarga besar dan putra ? putri beliau berdua dikelilingi oleh rakyat serta sanak saudaranya. Sesudah baik keadaan Huruk Mangandang, sejak itu disebut dengan Pradesa Tulikup utawi Talikup dan sekarang bernama Desa Tulikup.
Diceritakan kembali I Gusti Ngurah Anom Bang yang dipakai menantu oleh Ki Karang Buncing, diputuskan hubungan pasidikaraannya oleh keluarganya, namun masih kokoh kuat natad ? membawa kalingan ? keluhuran beliau, sebagai warga Pinatih, walaupun sudah dipatah ? putuskan pasidikaraannya. Setelah berputera, kemudian I Gusti Ngurah Bang beralih tempat ke desa Batubulan, putranya masih di Blahbatuh. I Gusti Bang mengambil istri putri dari I Dewa Batusasih , mendapatkan putra, bernama I Gusti Putu Bun bertempat tingga di Batubulan, I Gusti Made Bun pindah ke desa Lodtunduh, ayahnya masih di Batubulan, didampingi oleh putranya yang lain bernama I Gusti Putu Bija Karang, adiknya yang bernama I Gusti Bija Kareng mengungsi ke wilayah Peliatan, Krobokan, juga adiknya yang dua lagi I Gusti Bawa serta I Gusti Bija bertempat tinggal di Dawuh Yeh serta Dangin We. Kemudian I Gusti Bawa pergi tanpa arah tujuan ke arah barat Er Uma membangun sanggar-kabuyutan yang bernama Pura Lung Atad. Ada juga sanak saudara beliau yang berpindah tempat menuju kawasan Gelgel, ada yang ke Karangasem berdiam di Bebandem. Hentikan dahulu. Ada ceritanya putra Ki Arya Bang Pinatih yang bernama I Gusti Ketut Bija Natih kemudian menurunkan Ketut Bija Natih, masih di wilayah Kerthalangu, menjadi pemangku di Dalem 41 Kerthalangu, lalu ada yang berpinda ke arah selatan, ada di Bukit, ada di Jimbaran, di Ungasan serta Umadwi. Demikian ceritanya dahulu. Entah berapa lama Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi memerintah Puri Tulikup bersama adiknya, ternyata kemudian pecah persaudaraannya dengan adiknya Kyai Anglurah Made Sakti. Halnya seperti dibawah ini. Cokorda Nyalian Memperluas Wilayahnya Diceritakan Cokorda Panji Nyalian berkeinginan untuk memperluas wilayahnya. Kemudian datang dia ke Uruk Mangandang mempermaklumkan sebagai utusan Dalem yang berkehendak agar Kyai Anglurah Pinatih menghadap kepada Dalem di Gelgel semuanya, diiringi oleh rakyat, para putra dan cucu, karena ada hal penting yang hendak dititahkan oleh Ida Dalem. Pada saat itu diadakan pertemuan dengan sanak saudara, yang berkemukan seperti sang kakak dan sang adik. Kesimpulan pertemuan itu, sang kakak akan melaksanakan perintah Dalem. Saat itu berkata sang kakak Kyai Ngurah Gde Pinatih kepada adiknya Kyai Ngurah Made Sakti : ?Bila adinda tidak akan mengikuti kanda, kakanda akan menghadap kepada Dalem, walaupun adinda memohon diri kepada kakanda, dan walaupun nanti adinda akan bertempat tinggal jauh, agar jangan sekali ? sekali lupa bersaudara di kelak kemudian hari?. Kemudian berkata adiknya : ?Uduh, kakandaku, dinda menuruti kata ? kata kanda?. Setelah usai pertemuan tiu, kemudian dibagi dua milik beliau berdua seperti pusaka sampai dengan rakyat. Beliau sang kakak Kyai Anglurah Agung Pinatih membawa Keris Ki Brahmana serta tumbak yang bernama I Barugudug. Adiknya Kyai Ngurah Made Sakti membawa segala perlengkapan pemujaan, seperti pasiwakaranaan serta pustaka. Sesudah itu, karena Kyai Anglurah Agung Pinatih masih sangat hormat dan bakti kepada Daalem, maka sekalian bersama ? sama pergi menuju Puri Suwecapura diiringi olah sanak saudaranya serta rakyatnya. Kyai Anglurah Made Sakti, kemudian menuju arah barat, diikuti juga oleh saudara ? saudara, cucu semuanya serta rakyat, dan tidak diceritakan di perjalanan, akhirnya sampai di Jenggalabija. Pada saat itu paman beliau I Gusti Gde Tembuku kemudian pindah dari Tulikup menuju Buruan terus ke Pliatan, dan berdiam di Tebesaya. Hentikan dahulu prihal I Gusti Ngurah Made sakti yang bertempat tinggal di Jenggala Bija dan I Gusti Gde Tembuku yang ke Tebesaya. Juga diceritakan prihal para putra Arya Bang Pinatih yang lain seperti putra I Gusti Made Pahang di Tulikup, yang sulung bernama I Gusti Putu Pahang pindah dari desa Tulikup menuju desa yang kemudian bernama Jagapati, I Gusti Made Pahang masih bertempat tinggal di Tulikup, I Gusti Nyoman Pahang kembali ke wilayah Pahang, I Gusti Ngurah Ketut Pahang pindah ke desa Selat. I Gusti Kaja Kauh pindah menuju wilayah Bebalang, Bangli disambut disana oleh sanak saudara dari Arya Bang Wayabiya. 42 Di Tulikup, para putra Ki Arya Bang Pinatih menguasai tempat dan kemudian membangun sthana Pamerajan masing ? masing, seperti para putra I gusti Bona, I Gusti Benculuk, I Gusti Sampalan, I Gusti Pandak, I Gusti Nangun, I Gusti Berasan, I Gusti Meranggi, I Gusti Sayan, I Gusti Bedulu, I Gusti Nunung, I Gusti Kandel, dan I Gusti Kutri. Kemudian ada juga yang bertempat tinggal di Kembengan, yakni I Gusti Tegal, I Gusti Sukawati, I Gusti Arak Api, I Gusti Julingan putra I Gusti Kandel, I Gusti Kembengan, I Gusti Manggis, I Gusti Pelagaan. Juga masing ? masing membangun Pamerajan. Ada lagu yang mengungsi ke wilayah Siut, bernama I Gusti Nyoman Natih, putranya berdiam di Banjar Bias, ada di Karang Dadi serta di Gerombongan. Demkian dahulu. Kembali diceritakan kedatangan Ida Kyai Naglurah Pinatih di hadapan Dalem kemudian mempermaklumkan prihal kedatangan Cokorda Panji dari Nyalian. Ida Dalem berkata bahwa tidak sekali ? kali memrintahkan Kyai Anglurah Agung Pinatih agar datang menghadap, sehingga disimpulkan bahwa hal itu merupakan tipu muslihat Cokorda Panji, agar Kyai Anglurah Agung Pinatih meninggalkan wilayah uruk Mangandang. Lama beliau berdiam, berpikir, dan mungkin sudah ada dalam pikiran beliau, dan agar tidak menjdai bibit yang tidak baik, agar tetap bhakti masing ? masing sejak dahulu kala. Sejak berkuasanya leluhur Dalem dahulu ? sejak pemerintahan Ida Dalem Kresna Kepakisa, Kriyan Pinatih memang disayang di Puri menjadi demung. Kemudian Ida dalem berkeinginan memnuhi keinginan kedua belah pihak : Cokorda Panji ingin memperluas wilayahnya agar memperoleh rahayu; Kyai Pinatih juga agar tetap bhaktinya seperti yang dilakukan para leluhrunya yakni para Kriyan Pinatih yang sudah wafat, juga agar mendapatkan keselamatan. Kyai Anglurah Pinatih kemudian diminta untuk sementara tinggal di Puri Agung, tidak diperkenankan kembali ke Tulikup, diminta untuk mendampingi beliau Ida Dalem. Diceritakan tidak lama Cokorda Nyalian memegang wilayah Tulikup kemudian diserang oleh raja Gianyar. Demikian dahulu. Diberi Tempat Di Bukit Mekar Menjadi Desa Sulang Singkat ceritera, Ida Dalem mengdakan utusan untuk mencari tempat tinggal bagi Kyai Pinatih, di perbatasan wilayah Klungkung dan Karangasem bernama Bukit Mekar. Walaupun tempat itu sempit, atas perintah Dalem, Ida I Gusti Anglurah Agung Pinatih Rsi kemudian bertempat tinggal disana diiringi oleh putra sanak saudara. Rakyat semuanya mengiringi. Tempat itu kemudian diberi nama desa Sulang. Sedangkan di Bukit Mekar, beliau pertama kali mengukur tempat untuk Pamerajan, tempat Puri, mengukur tempat untuk Kahyangan Tiga serta tempat kuburan dan rumah tempat tinggal rakyatnya semua. Setelah sesak di Bukit Mekar, diberikan lagi tempat di perbatasan Klungkung dan Karangasem yang bernama Tegal Ening, dekat dengan desa Lebu Cegeng di tepi Sungai Unda yang sudah dikuasai I Gusti Dauh Talibeng. Disana rakyat Kriyan Pinatih ada 43 sebagian membangun rumah serta panyungsungan Puseh Bale Agung, wilayah itu kemudian dinamai Banjar Mincidan. Penuh sesak di banjar Mincidan, kemudian diberi tempat lagi di tepi Sungai Unda yang bernama Tegal Genuk, yang kemudian diberi nama Banjar Gerombongan. Dari Banjar Gerombongan, karena sesak diberikan tempat di perbatasan Semara Pura tepi selatan, tempat warga Pande yang diajak dari Madura, tempat itu bernama Banjar Galiran. Dari Banjar Galiran, karena sesak, yang diberikan lagi tempat di Kusamba, dekat dengan Banjar Sangging, kemudian ada yang berada di pesisir pantai Kusamba yang bernama Karang Dadi. Kemudian ada diceritakan para putra Ki Arya Bang Pinatih yang kemudian mengikuti penuanya. Berkeinginan untuk menghadap ke Puri Dalem lalu berdiam di Banjarangkan, serta mmembuat panyawangan kawitan diberi nama Pura Lung Atad. Kemudian ada yang beralih mencari tempat di tempat Sungai Bubuh bernama tempat itu Basang Alu, membangun Pamerajan diberi nama menurut nama masing - masing. Pura di Lung Atad dituntun ke Basang Alu, berganti naman menjadi Pura Sari Bang. Diceritakan lagi I Gusti Jimbaran pindah dari Tulikup menuju desa Getakan, berdiam disana disayang oleh Cokorda Bakas. Inggih demikian hentikan dahulu keadaan para putra yang terpencar tempat tinggalnya. Kyai Anglurah Made Sakti Di Jenggala Bija Diceritakan sekarang Kyai Anglurah Made Sakti, tidak mengikuti kakaknya, berpindah tempat dari desa Tulikup menuju Jenggalabija diiringi oleh rakyat lengkap dengan bawaannya. Jenggala Bija itu dekat dengan tempat kediaman I Dewa Karang yang dipakai menantu di wilayah Mambal. Kyai Anglurah Made Sakti sudah memiliki Puri di Jenggalabija, sampai kepada rakyatnya sudah memiliki perumahan sesuai dengan keadaan pedesaan yang sudah ada. Kyai Ngurah Made Sakti benar - benar bijak memegang kekuasaan, beliau ahli dalam sastra, serta senang melaksanakan dewaseraya berbhakti kepada Ida Hyang Widhi dan Bhatara semua. Ppada saat itu ada anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi pada hari Selasa Kliwon - Anggara Kasih, bulan Bali yang kesembilan - Kesanga di tengah malam, Kyai Ngurah Made melakukan upaacara persembahyangan di hutan ladang Bun, di sebelah timur Desa Pengumpian. Sesudah sampai di tepi hutan itu, dilihat ada asap tegak berdiri putih seakan - akan sampai di angkasa. Tempat itu kemudian dicari oleh Kyai Ngurah Made, sesampai di tempat itu, layaknya sebagai bun - pohon merambat dilihat oleh beliau asap yang berdiri tegak itu, seperti aneh rasanya dan juga menakutkan. Ketika hilang asap itu, kembali perasaan beliau Ida Kyai Anglurah Made Sakti seperti sediakala, kemudian menaiki timbunan bun itu. Sesudah sampai di puncak, kira - kira ada 80 depa, kemudian ada sabda terdengar dari angkasa : “Nah, dengarkanlah sabdaku ini! Segera bersihkan hutan bun ini, kemudian pakai desa maupun perumahan. Sejak sekarang Kyai Ngelurah Pinatih Made menjadi Kyai Ngelurah Pinatih Bun, sampai keturunanmu kelak di kemudian hari menjadi warga Bun. Setelah selesai mendengar sabda dari angkasa itu, kemudian Ida Kyai Ngurah Made turun. 44 Setelah sampai di tanah kemudian beliau berkeinginan untuk membari tanda tempat itu denga kapur - diberikan tanda silang - tapak dara, sebagai tanda, kemudian beliau pulang ke Puri. Pada pagi harinya sampailah kemudian di Puri beliau di tegal Bija, kemudian memberitahukan kepada perbekel serta rakyat semuanya. Setelah semua rakyat berdatangan menghadap, kemudian I Gusti Ngurah Made berkata : “Nah Paman semuanya, saya sekarang memerintahkan paman semuanya untuk merabas hutan bun itu, saya akan membangun desa serta perumahan”. Rakyat semuanya menyambut dengan perasaan senang hati, menuruti keinginan I Gusti Ngurah Made, semuanya lengkap membawa alat akan merabas Alas Bun itu. Setelah semua bersih hutan itu dirabas, ketika matahari sudah berada di atas kepala, rakyat semua beristirahat dan mengambil makanan untuk rakyat Bija itu di Pasar Pangumpian, kemudian tiba di Bancingah Pangumpian seraya membuang sampah. Disana dibuang sampah itu oleh rakyat Bija. Setiap hari demikian tingkah rakyat Bija di Pasar Pangumpian. Kemudian ada orang melaporkan permasalahan itu kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, prihal tingkah rakyat pendatang itu merabas hutan. Karena itu merasa marah besar I Gusti Ngurah Pangumpian karena tidak ada pemberitahuan kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, sebab itu dilarang rakyat pendatang itu merabas hutan Bun itu, karena tidak patut perbuatan rakyat Bija itu, apalagi membuang sampah sembarangan di Bancingah Pangumpian, kemudian dihentikan dengan senjata. Sesudah itu kemudian I Gusti Ngurah Pangumpian mengumpat mereka sampai kepada Gusti mereka, karena itu segera didengar olah rakyat Bija, sehingga kacau di Pasar Pangumpian apalagi diimbuhi dengan tantangan terhadap Gustinya. Itu sebabnya menjadi marah I Gusti Ngurah Made kemudian memerintahkan putranya untuk melaksanakan perbuatan sebagai seorang Ksatria. Saat itu I Gusti Putu Bija sebagai putranya mengikuti ayahnya bersama rakyat semuanya, membawa senjata bersorak sorai semua. Dipimpin oleh sang ayah, kemudian masuk ke Puri Pangumpian. Sangat ramailah perang disana, saling tusuk, saling penggal, itu sebabnya banyak yang mati, sungguh riuh sekali perang antara Bija lawan Pangumpian. Banyak yang mati dan banyak yang luka. Saat itulah kemudian bertemu berperang tanding I Gusti Ngurah Made lawan I Gusti Ngurah Pangumpian, kemudian kalah I Gusti Ngurah Pangumpian dan kemudian meninggal. Sejak itu orang - orang di Pangumpian kalah kemudian ada yang pergi berpencar mencari tempat, ada yang mengungsi ke pegunungan. Ada yang ke arah selatan ke Desa Kesiman, ada di Suwung, di Wimba serta Blumbungan, Kapal. Demikian kesaktian Kyai Anglurah Made, itulah sebabnya kemudian beliau diberi gelar I Gusti Anglurah Sakti Bija. Hentikan dahulu ceritera di Bun Pangumpian. Diceritakan sekarang yang memegang kekuasaan di wilayah Mengwi yang bernama I Gusti Made Agung Alangkajeng serta bergelar Cokorda Agung Made Bana, beserta adiknya I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng serta I Dewa Karang di Mambal, menanyakan prihal 45 peperangan itu. Kyai Anglurah Bun kemudian mengatakan prihal mendapatkan anugerah dari Hyang Maha Kuasa. Berkata Cokorda : “Nah kalau begitu, Dinda Ngurah Bun yang memang benar. Serta Ngurah beserta rakyat patut beralih tempat dari Jenggala Bija berkumpul di Desa Bun. Agar sesuai dengan nama wilayah”.
Diceritakan sekarang yang menjadi pendeta bernama Ida Peranda Wayan Abian mempunyai putra bernama Ida Wayan Abian. Adiknya bernama Ida Ktut Abian, dipakai ipar serta menantu oleh Kyai Ngurah Bun. Itu sebabnya beliau berdiam di wilayah Bun, serta juga berganti nama menjadi warga Bun. Beliau kemudian dijadikan Cudamani oleh Ki Arya Bun serta juga Ki Arya Bija, demikian kesimpulan pertemuan di Geria Sanur. Kemudian juga I Gusti Ngurah Made Bija dapat berdiam di Desa Beranjingan, mendapatkan rakyat 300 orang disampingi oleh menantunya yang bernama Ida Ktut Ngurah. Diceritakan I Gusti Putu Bija di Beranjingan diiringi oleh para putranya semua membuat senjata 40. Senjata itu kemudian diberi nama Dolo dan Beranjingan, semua senjata itu bertatahkan mas, kemudian dipergunakan sebagai alat upacara di pura - pura serta dipakai peringatan di kelak kemudian hari. Ada juga terlahir dari warga Beranjingan, bernama I Gusti Ngurah Gde Bija, adiknya bernama I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan, I Gusti Ngurah Anom Lengar, serta terakhir bernama I Gusti Ketut Bija Tangkeng itu semua lahir dari Puri Beranjingan, diamping ada yang wanita. Dikisahkan I Gusti Putu Bija yang bertempat tinggal di Beranjingan, disusupi oleh loba - tamak, moha hatinya, itu sebabnya berani kepada ayahandanya Kyai Ngurah Made Bija Bun, sehingga tidak ingat lagi bersaudara maupun berayah. Itu sebabnya bertentangan Beranjingan dengan warga Bun. Muncul kesal hati Ida Kyai Ngurah Bun untuk berbicara dengan putranya yang ada Puri Beranjingan, karena anaknya itu merasa diri pintar, tidak lagi peduli pada kelebihan orang lain. Karena itu, menjadi marah Kyai Ngurah Made Bun, kemudian melakukan perbincangan dengan putranya yang lain seperti I Gusti Ngurah Made Bija Bun, I Gusti Anom Bija, I Gusti Ngurah Teja, I Gusti Ngurah Alit Padang, agar merebut saudaranya yang ada di Beranjingan. Itu sebabnya menjadi galak rakyat Bun, kemudian didatangi Desa Beranjingan itu oleh pasukan Bun serta dikejar, diburu, karenanya menjadi kacau di daerah Beranjingan, semua keluar membawa alat senjata, semuanya berani menunjukkan keperwiraannya. Disanalah kemudian terjadi perang yang dahsyat, saling tusuk, saling bunuh, dan banyak mati rakyat Beranjingan oleh rakyat Bun. Menyaksikan demikian halnya, sangat marah I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan, akan bersedia mati dalam pertempuran bersama para putra serta isteri semuanya bermaksud untuk menghilangkan jiwanya, dan semuanya mengenakan busana serba putih, sedia akan mati di medan laga. Karena sudah demikian tekad I Gusti Ngurah Beranjingan, menjadi gentar juga rakyat Bun, 46 serta para putra semuanya, kemudian segera ayahandanya mempergunakan Aji Pregolan, berdiri di depan pinti Puri. Karena kesaktian Kyai Ngurah Made Bun, menjadilah I Gusti Ngurah Beranjingan gentar melihat prabawa ayahnya, takut, tidak berani lagi menentang, sampai dengan rakyat Beranjingan semua, lalu semuanya lari tunggang langgang besar kecil mengungsi serentak menyembunyikan diri menuju desa Srijati di Sibang, kemudian berdiam di Desa Darmasaba, serta menghamba kepada I Gusti Agung Kamasan beserta seluruh rakyatnya, penuh sesak disana di Darmasaba. Dengan demikian I Gusti Ngurah Putu Bija? Beranjingan batal meninggal di medan perang tempat itu kemudian dinamai Jagapati. Sesudah lama berdiam disana, kemudian semua para putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan berpencar. Putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan masing - masing adalah I Gusti Ngurah Beranjingan membangun Puri di Banjar Bantas, adiknya I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan mengungsi ke Desa Tingas disertai rakyat 60 KK. I Gusti Ngurah Ketut Bija Tangkeng serta I Gusti Ngurah Anom Lengar, mencari tempat di Moncos diiringi rakyat 60 KK, I Gusti Ketut Rangkeng mencari tempat di Desa Kekeran. Belakangan I Gusti Anom Lengar mengambil isteri dari Dalung, itu sebabnya bolak - balik tempat tinggalnya, kemudian ada putra 3 orang, yang sulung bernama I Gusti Putu Bija, adiknya I Gusti Bija Lekong, yang paling kecil I Gusti Bija Leking, I Gusti Anom Lengar berdiam kemudian di Dalung, akhirnya kemudian di Taman Padangkasa, bersama anaknya I Gusti Leking. Dikisahkan I Gusti Bija Lekong mengungsi ke wilayah Kuta. Sesudah lama di Kuta banyak sekali puteranya, ada yang mengungsi ke Jembrana I Gusti Putu menuju wilayah Kaba - Kaba kemudian ke Lodsawah. Kembali diceritakan Kyai Ngurah Made Bija Bun sudah lega hatinya memperoleh kewibawaan di Desa Bun, tidak ada yang membantah perintah beliau, karena sudah juga bermitra dengan Cokorda yang menguasai wilayah Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana. Lama kemudian meninggal penguasa Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana, digantikan oleh adiknya I Gusti Nyoman Langkajeng yang bergelar Cokorda Munggu. Cokorda Munggu mempunyai putra I Gusti Agung Mayun serta I Gusti Agung Made Munggu. I Gusti Agung Mayun menggantikan ayahnya bergelar Cokorda Mayun. Demikian dahulu keadaan di Mengwi. Puri Bun Diserang Oleh Mengwi Diceritakan sekarang, tidak bagitu lama keadaan ini aman, kemudian tiba masa Kalisengsara - kekacauan, dan ternyata marah besar Ida Cokorda Maun di Mengwi berkehendak menyerang I Dewa Karang yang ada di Puri Mambal. Karena demikian didengar oleh I Dewa Karang, beliau berbincang dengan ipar beliau di Puri Bun. Setelah selesai bertukar pikiran, maka kembali pulang dengan tidak merasa sak wasangka lagi. Singkat ceritera, pasukan Mengwi sudah datang menyebabkan penuh sesak mengitari. Puri Mambal sudah dipenuhi oleh para putra Mengwi, dipimpin oleh Cokorda Mayun. Setelah dikelilingi puri Mambal itu, sangat duka hati I Dewa Karang, kemudian
47
keluar ke depan Puri itu. Yang sebenarnya diandalkan oleh Puri Mengwi hanyalah pasukan Bun. Dan teryata yang mengitari Puri I Dewa Karang juga? hanya pasukan Bun. Karena itu I Dewa Karang dapat disembunyikan oelh pasukan Bun di tengah - tengah mereka. Menjadi takjub ppasukan Mengwi, heran dengan kesaktian I Dewa Karang yang hilang tidak ada di puri, karena sudah diungsikan - diamankan oleh pasukan Bun. Itu sebabnya pulanglah pasukan Mengwi tanpa hasil. I Dewa Karang kemudian mencari saudaranya yang berdiam di Banjar Tegal wilayah Tegalalang yang bernama I Dewa Bata. Sesudah lama, tahulah Ida Cokorda Mayun akan tipu muslihat I Gusti Ngurah Made Bun, yang menyebabkan hilangnya I Dewa Karang karena diapaki menantu oleh Anglurah Bun. Penguasa Mengwi kemudian menyuarakan kentongan agung, serta kemudian berangkat Cokorda Mayun beserta balanya semua, akan merusak dan merebut Kyai Naglurah Bun. Bila saja berani dalam medan perang, akan dihabiskan sampai anak cucu Anglurah Bun. Singkat ceritera, pasukan Mengwi semuanya sudah berangkat menuju puri Bun. Sesampainya di Bancingan Puri Bun, kaget Kyai Ngerurah kemudian memukul kentongan bertalu - talu, serentak rakyatnya semua laki maupun perempuan membawa senjata. Disana kemudian berkecamuklah perang itu, saling amuk, setapakpun tidak mundur, bersorak saling ejek, saling tantang, saling tusuk, saling penggal, saling banting, sama - sama tidak mengenal mana kawan mana lawan, sehingga kemudian peperangan itu sampai ke Puri Bun. Tak dinyana kemudian Cokorda Mayun, sebagai pucuk pimpinan pasukan Mengwi wafat, dapat ditusuk oleh Kyai Nglurah Bun. Serta kalahlah pasukan Mengwi. Jenazah Cokorda Mayun, diceritakan masih di Bun. Kemudian banyak rakyat Mengwi yang masih hidup, kembali ke Mengwi, ada yang langsung menghadap I Gusti Agung Made Munggu, adik Ida Cokorda Mayun yang wafat di Bun. Itu sebabnya murka I Gusti Agung Made Munggu, seraya memerintahkan semua anggota keluarganya untuk menyerang Anglurah Bun. Kemudian berangkat bala pasukan Mengwi dari Munggu dan Mengwi seraya membawa senjata. Di Lambing para putra Mengwi mengadakan pembicaraan. Kesimpulan pembicaraan itu, pasukan akan dibagi dua. Dari barat, sebagai pimpinan pasukan I Gusti Agung Made Kamasan dari Sibang serta I Gusti Agung Jlantik dari Penarungan, serta dari utara, bala pasukan disana mengiringi I Gusti Agung Made Munggu. Dari Taensiat Ke Nagari Singkat ceritera Kyai Ngurah Bun Pinatih sudah mendengar rencana balas dendam dari Puri Mengwi, jelas akan mendatangkan bala pasukan dalam jumlah yang besar. Kalau dihadapi jelas akan kalah. Kemudian beliau berpikir untuk tidak melawan, serta bersiap untuk meninggalkan puri, mengungsi ke wilayah Badung, bersama dengan anak cucu, besar kecil, serta rakyat semuanya, dengan mengusung Bhatara Kawitan semuanya seperti Siwapakaranaan serta pusaka I Keboraja beserta I Baru Upas. 48
Setibanya di Badung kemudian menuju Taensiat, rakyat beliau ditempatkan di Banjar Bun serta Banjar Ambengan. Ada yang beralih menuju Angayabaya, Jagapati, Angantaka, Sibang, Paguyangan. Ada yang mengungsi ke wilayah Pagutan, Negara, Pagesangan, Tamesi. Ada ke Tagtag Negara, Pangrebongan bersama I Gusti Tangeb, I Gusti Meranggi. I Gusti Meranggi pindah ke wilayah Sarimertha. Demikian ceritanya dahulu. Diceritakan sekarang di Puri Bun, karena semua penduduk disana mengungsi ke wilayah Badung, maka keadaan disana menjadi sunyi, tak ada seorangpun kelihatan lewat. Setibanya pasukan Mengwi ditempat itu, maka dilakukan penyerobotan, dijarah semua milik Puri Bun serta milik rakyat disana. Sisa penjarahan adalah purinya, wantilan, merajan, pura, dan juga ada perumahan rakyat, semuanya dibakar habis diratakan sama sekali. Jenazah Cokorda Agung Mayun yang meninggal dan tertinggal di Puri Bun kemudian diambil dibawa pulang ke Mengwi. Kembali diceritakan I Gusti Ngurah Bun di taensiat, para putra beliau sekarang ada yang pindah ke desa - desa lainnya, seraya memohon diri kepada ayahnya, seperti I Gusti Bun Sayoga ke Sigaran Mambal, I Gusti Ngurah Alit Padang mengungsi ke Karangasem, bertempat tinggal di Padangkertha. I Gusti Ngurah Teja mengungsi ke Denbukit. Ada putranya 3 orang, yang sulung I Gusti Teja - namanya sama dengan ayahnya, di Dawan Banjar, I Gusti demung menuju Timbul, Sukawati. Ayahnya I Gusti Ngurah Bun kemudian berpuri di Taensiat. Demikian dahulu. Diceritakan I Dewa Karang berpuri di Banjar Tegal, beliau senang melakukan persembahyangan, disana di Dalem Pamuwusan namanya. Kemudian ada anugerah Ida Sang Hyang Widhi, beliau mendapatkan anugerah senjata dua buah. Itu sebabnya sangat suka cita I Dewa Karang, sangat percaya diri di hatinya. Karena itu beliau bermaksud untuk mencari I Gusti Ngurah Made Bun di Puri Taensiat, agar turut serta berpuri di Banjar Tegal. Singkat ceritera, sangat senang hati I Gusti Ngurah Made Bun, demikian juga I Dewa Karang kemudian berjalan diiringi rakyatnya semua dengan membawa perlengkapan menuju Alas Kawos, namun putranya yang bernama I Gusti Ngurah Putu Wija diangkat atau kadharma putra oleh Kyai Pamecutan. Kemudian diceriterakan I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun bersama tempat tinggalnya kemudian menuju desa Kengetan. Diceritakan I Gusti Wirya yang bertempat tinggal di Kengetan, dan juga di desa Singakertha, ditantang oleh I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun untuk berperang tanding. Akhirnya seperti keder hati I Gusti Wirya di Kengetan, kemudian beralih tempat semuanya serentak membawa perlengkapan di saat malam menuju desa Sigaran terus ke Melanjung. Sejak itu kemudian desa Kengetan, Jukutpaku, serta Singakertha dikuasain oleh I Dewa Kaarang. Karena keberhasilan itu, kemudian I Dewa Karang beserta I Gusti Ngurah Made Bun membuat puri di Karang Tepesan sampai kepada rakyatnya semua. Entah berapa masa sudah berpuri disana, ada usulan dari I Gusti Ngurah Made Bun agar membangun Puri yang baik dan indah, sebab keadaan sudah membaik, terus dinamai wilayah Negara. I? Gusti Ngurah Made Bun membangun puri dinamai Puri Negari. I Dewa Karang mempunyai janji dengan I Gusti Ngurah Made Bun agar bersuka duka berdua, dan semoga terus sampai ke keturunannya nantinya. Demikian inti perbincangan I 49 Dewa Karang serta I Gusti Ngurah Made Bun, semuanya merasa suka cita. Diceritakan Ida Peranda Nyoman Padangrata yang pernah menjadi pendeta atau Bagawantah Ida Ngurah Bun sudah berpindah dari wilayah Bun, diikuti oleh putra serta isteri menuju desa Kutri, sewilayah dengan Negara. Banyak rakyat I Dewa Karang ada di Kutris diberikan kepada Ida Peranda. Demikian halnya di masa lalu, dicantumkan dalam pariagem. Dilanjutkan sekarang purtra I Gusti Ngurah Made Bun di Negari semua sudah diandalkan oleh I Dewa Karang yang berkuasa di Negara. Putra I Gusti Ngurah Made Bun yang paling sulung bernama I Gusti Ngurah Gde Bun atau I Gusti Ngurah Mawang berpuri di Negari, I Gusti Anom Angkrah di Banjar Tunon, I Gusti Ketut Alit Bija bertempat tinggal di Kutri, I Gusti Ngurah Tangeb mmasih di Mawang, serta wanita I Gusti Ayu Oka juga di Negari. Semuanya memiliki jiwa keperwiraan masing - masing. Demikian keadaannya. Diceritakan sekarang yang menjadi penguasa wilayah Gianyar bernama Ida I Dewa Manggis, memberi perintah kepada I Dewa Karang agar para putra Anglurah Bun Pinatih menjadi pengokoh wilayah Gianyar, paling utama mengawasi Tegal Pangrebongan. Kesimpulan perbincangan itu agar putra Ngurah Bun yang bernama I Gusti Ngurah Tangeb, yang memamng keturunan Pinatih, itu yang mengawasi di Pangrebongan, diberikan rakyat 200 orang. Demikian dicatat di Pariagem. Juga diceritakan Ida Bang Pinatih memiliki keturunan yang bernama mangurah Guwa dan Mangurah campida. Keduanya, ketika masa kerajaan Gelgel atau Sweca Linggarsa Pura, ada di lingkunga Ida Dalem. Namun ketika masa pemberontakan I Gusti Agung Maruti, terjadi huru - hara, maka sanak keturunan beliau berdua meninggalkan Gelgel, ke arah timur perjalanannya, serta kemudaian berdiam di desa Gunaksa. Disana membangun kahyangan dinamai Pura Guwa. Tujuannya agar diketahui oleh keturunannya sebagai keturunan Mangurah Guwa. Demikian tercatat dalam prasasti, tentang keadaan Sira Mangurah Guwa. Diceritakan pula di kemudian hari mendapatkan panjang umur keturunan Mangurah Guwa, ada yang pindah ke desa Timhun, sanak saudara yang lain menuju desa Aan. Ada juga yang meninggalkan desa Gunaksa yang menuju desa Akah, Pagubungan Manduang serta Nusa Penida. Demikian kisahnya Mangurah Guwa dan Mangurah Campida. Dan demikian pula kisah tentang keberadaan sanak keturunan Ida wang Bang Banyak wide yang kemudian menjadi warga Arya Wang Bang Pinatih di seluruh pelosok Pula Bali. T A M A T
Catatan:
1. Isi Babad di atas adalah sesuai dengan Siddhimantra Tattwa (Babad Danghyang Bang Manik Angkeran) Mahakerta Warga Danghyang Bang Manik Angkeran Siddhimantra Pusat Propinsi Bali (2003)
2. Jika Anda mempunyai pertanyaan atau ingin melakukan diskusi seputar Babad Arya Wang Bang Pinatih, silakan melakukan registrasi di www.pinatih.org/forum.
3. Pertanyaan Anda mungkin akan mendapat tanggapan, tetapi mungkin juga tidak, karena belum ada narasumber resmi di Forum Warga Arya Wang Bang Pinatih.
4. Jika terdapat kesalahan ketik atau tanda baca, mohon diinformasikan kepada kami melalui email : admin@pinatih.org, dengan mencantumkan nomor halaman dan baris kesalahan dimaksud.
1. Isi Babad di atas adalah sesuai dengan Siddhimantra Tattwa (Babad Danghyang Bang Manik Angkeran) Mahakerta Warga Danghyang Bang Manik Angkeran Siddhimantra Pusat Propinsi Bali (2003)
2. Jika Anda mempunyai pertanyaan atau ingin melakukan diskusi seputar Babad Arya Wang Bang Pinatih, silakan melakukan registrasi di www.pinatih.org/forum.
3. Pertanyaan Anda mungkin akan mendapat tanggapan, tetapi mungkin juga tidak, karena belum ada narasumber resmi di Forum Warga Arya Wang Bang Pinatih.
4. Jika terdapat kesalahan ketik atau tanda baca, mohon diinformasikan kepada kami melalui email : admin@pinatih.org, dengan mencantumkan nomor halaman dan baris kesalahan dimaksud.
0 komentar : “Babad Ida Bang Manik Angkeran - Bag. III”
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda tentang Blog / Artikel ini,
Tinggalkan sebuah komentar / saran disini......!!!
saya akan balik kunjungi anda, teriima kasih