Anda mungkin tak pernah membayangkan sebuah kompleks peribadatan dibangun di atas tebing terjal yang menjorok ke laut. Tapi jika Anda berkunjung ke Pura Luhur Uluwatu, di bagian selatan Kabupaten Badung, Pulau Bali, niscaya Anda akan berdecak kagum karena lokasinya benar-benar dibangun di atas bukit karang setinggi + 97 meter di atas permukaan laut (dpl).
Tentu saja, bukan hanya suasana sakral dan religius yang dapat dinikmati oleh masyarakat yang ingin beribadah maupun berwisata di tempat ini, melainkan juga panorama alam yang memukau.
Tentu saja, bukan hanya suasana sakral dan religius yang dapat dinikmati oleh masyarakat yang ingin beribadah maupun berwisata di tempat ini, melainkan juga panorama alam yang memukau.
Pura Luhur Uluwatu merupakan salah satu dari pura-pura yang memiliki status sebagai Pura Sad Kahyangan Jagat, yaitu salah satu pura yang dianggap sebagai penyangga poros mata angin di Pulau Bali, sedangkan Pura yang lainnya yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Batukaru, dan Pura Pusering Jagat. Dalam bahasa Sansekerta uluwatu memiliki makna “puncak batu” (ulu= puncak / ujung / atas, sementara watu = batu). Nama ini tentu saja merujuk pada lokasi pura yang berada di bagian puncak tebing batu karang.
Menurut cerita masyarakat setempat, pura ini telah dibangun sejak abad ke-11 oleh Mpu Kuturan. Ketika itu, Pura Luhur Uluwatu menjadi tempat pemujaan bagi Dewa Rudra untuk memohon keselamatan. Selain membangun sebuah pura, Mpu Kuturan juga dipercaya telah mewariskan aturan dan tata-tertib bagi desa-desa adat di sekitar pura yang masih dikenal hingga saat ini. Empat abad kemudian, sekitar abad ke-16, Dang Hyang Nirartha, seorang penyebar agama Hindu dari Jawa Timur memutuskan untuk moksa (menyatu dengan atau kembali keharibaan dewata) di pura ini. Dalam bahasa setempat moksa juga disebut ngeluhur. Itulah sebabnya, nama Pura Uluwatu kemudian dilengkapi dengan kata luhur, menjadi Pura Luhur Uluwatu.
Pura Luhur Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang memiliki kaitan erat dengan pura induk. Pura-pura pesanakan tersebut antara lain Pura Bajurit, Pura Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding, dan Pura Dalem Pangleburan. Pura-pura ini berhubungan langsung dengan Pura Luhur Uluwatu pada saat Piodalan, yaitu pemujaan terhadap Sang Hyang Widi yang berlangsung setiap 210 hari, pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia.
Pura Luhur Uluwatu berada di atas anjungan batu karang tinggi yang menjorok ke Samudera Hindia. Berbeda dengan pemandangan Pura Tanah Lot yang dibangun di atas pulau karang di tengah laut, di tempat ini wisatawan dapat menyaksikan luasnya Samudera Hindia dengan deburan ombak yang menerpa kaki tebing Uluwatu. Jika berminat bertamasya ke pura ini, Anda sebaiknya datang sore hari menjelang matahari terbenam. Sebab, pesona matahari terbenam (sunset) dengan latar belakang siluet Pura Luhur Uluwatu dipercaya tak ada duanya di Pulau Bali.
Ketika menyusuri jalan setapak yang cukup panjang menuju Pura Uluwatu, dengan pagar beton di sisi tebing, wisatawan dapat mengedarkan pandangan untuk melihat bukit-bukit cadas dan hamparan laut yang jernih. Namun, wisatawan patut berhati-hati pada kera-kera jahil yang berkeliaran di jalan-jalan menuju pura. Kera-kera ini konon dipercaya sebagai penjaga kesucian pura. Tetapi, tak jarang mereka juga mengambil barang-barang milik pengunjung, seperti kacamata, topi, anting, ikat rambut, dan barang-barang lainnya. Jika terlanjur kecolongan, Anda dapat menukarkan barang tersebut dengan cara memberikan makanan kecil pada kera-kera itu.
Sebelum memasuki pura, wisatawan diwajibkan untuk mengenakan pakaian khusus, yaitu kain sarung untuk mereka yang mengenakan celana atau rok di atas lutut, serta selendang untuk wisatawan yang memakai celana atau rok di bawah lutut. Kain sarung dan selendang berwarna kuning (salempot) tersebut menyimbolkan penghormatan terhadap kesucian pura, serta mengandung makna sebagai pengikat niat-niat buruk dalam jiwa.
Setelah memasuki bagian jabaan pura (halaman luar pura), wisatawan akan disambut oleh sebuah gerbang Candi Bentar berbentuk sayap burung yang melengkung. Gerbang yang menjadi pintu masuk menuju jabaan tengah ini merupakan salah satu peninggalan arkeologis abad ke-16. Untuk mencapai jeroan pura, Anda akan melewati Candi Kurung yang di depannya terdapat patung penjaga candi (dwarapala) dengan bentuk arca Ganesha. Akan tetapi, untuk menghormati kesucian pura, wisatawan tidak diperbolehkan memasuki ruang utama pemujaan, sebab hanya umat Hindu yang akan bersembahyang saja yang diperbolehkan memasukinya. Di dalam ruang utama pura, terdapat sebuah prasada, yaitu tempat moksanya Dang Hyang Nirartha.
0 komentar : “PURA ULUWATU”
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda tentang Blog / Artikel ini,
Tinggalkan sebuah komentar / saran disini......!!!
saya akan balik kunjungi anda, teriima kasih